Benny Susetyo Pakar Komunikasi
Radarjakarta.id | JAKARTA – Mohammad Hatta, salah satu proklamator Indonesia, mengemukakan dua asumsi penting yang mendukung prinsip kedaulatan rakyat. Pertama, rakyat tidak hanya berdaulat tetapi juga bertanggung jawab atas kedaulatan yang dipegangnya. Kedua, tidak mungkin rakyat yang berdaulat kehilangan kedaulatannya.
Dengan kata lain, Hatta mengacu pada pengalaman sejarah untuk menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi pada dasarnya berjalan dengan waktu yang lama serta stabil. Dalam opini ini, kita akan menganalisis asumsi-asumsi tersebut dan relevansinya dalam konteks kekinian, serta menekankan pentingnya sistem demokrasi yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk keberlanjutannya, yaitu pemerintahan berdasarkan hukum dan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Asumsi pertama yang dikemukakan oleh Hatta adalah bahwa rakyat tidak hanya berdaulat tetapi juga bertanggung jawab atas kedaulatan yang dipegangnya. Tanggung jawab ini mencakup partisipasi aktif dalam proses politik, pengawasan terhadap pemerintah, serta keterlibatan dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Tanggung jawab kolektif ini menjadi penopang utama bagi berjalannya demokrasi yang sehat dan stabil. Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab kolektif ini tercermin dalam berbagai mekanisme demokratis seperti pemilihan umum, musyawarah desa, dan bentuk-bentuk partisipasi publik lainnya. Namun, sering kali, tanggung jawab ini diabaikan oleh sebagian besar masyarakat yang cenderung apatis terhadap politik. Kurangnya kesadaran politik dan pendidikan yang memadai membuat masyarakat cenderung pasif dan menyerahkan segala urusan politik kepada elit politik.
Padahal, tanpa partisipasi aktif rakyat, kedaulatan yang sejatinya berada di tangan rakyat dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Asumsi kedua Hatta adalah bahwa tidak mungkin rakyat yang berdaulat kehilangan kedaulatannya. Kedaulatan rakyat adalah sebuah prinsip yang abadi dan tidak bisa dihilangkan. Ini berarti bahwa sekalipun terjadi penyimpangan dalam praktik politik, pada dasarnya kedaulatan tetap berada di tangan rakyat.
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa rakyat selalu memiliki kekuatan untuk mengembalikan kedaulatan mereka, misalnya melalui gerakan-gerakan sosial atau perubahan politik yang signifikan. Namun, dalam praktiknya, kita sering menyaksikan bagaimana kedaulatan rakyat bisa terdistorsi oleh kekuatan politik yang dominan. Manipulasi hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi adalah beberapa contoh bagaimana kedaulatan rakyat dapat terancam. Oleh karena itu, kesadaran dan aksi kolektif dari rakyat sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan mereka tetap utuh. Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika rakyat bersatu dan sadar akan kedaulatannya, mereka mampu menumbangkan rezim yang otoriter dan mengembalikan kedaulatan mereka, seperti yang terjadi dalam Reformasi 1998 di Indonesia.