RADAR JAKARTA | Rotterdam – Karya terbaru sutradara Garin Nugroho, Whispers in the Dabbas (Nyanyi Sunyi Dalam Rantang), memulai debut internasionalnya dengan pemutaran perdana di gelaran bergengsi International Film Festival Rotterdam (IFFR) yang ke-54.
Film ini turut memperkuat eksistensi perfilman Indonesia di panggung global, menyusul karya-karya sebelumnya yang juga pernah diputar di festival yang sama, seperti Leaf on a Pillow (Daun di Atas Bantal), Opera Jawa, dan Deadly Love Poem (Puisi Cinta yang Membunuh).
Nyanyi Sunyi Dalam Rantang masuk dalam program Harbour di IFFR 2024, yang dikenal sebagai ruang bagi film-film berani dan penuh ekspresi kritis terhadap isu sosial dan politik. Film ini terinspirasi dari kisah nyata beberapa kasus pengadilan di Indonesia, yang menyajikan gambaran menyayat tentang ketidakadilan dalam sistem hukum negara.
Berlatar sebuah kota kabupaten, Whispers in the Dabbas mengisahkan seorang pengacara muda bernama Puspa, yang diperankan oleh Della Dartyan. Puspa berjuang untuk mengungkapkan ketidakadilan yang terjadi dalam berbagai kasus hukum, yang seringkali berpihak pada kepentingan segelintir orang, bukan pada masyarakat kecil yang membutuhkan keadilan.
Dalam peran ini, Dartyan berhasil membawa penonton merasakan ketegangan, frustrasi, dan perjuangan tanpa henti dalam mempertahankan nilai-nilai keadilan.
Film ini diproduksi oleh Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) bekerja sama dengan Garin Workshop dan Padi Padi Creative. Selain sebagai hiburan, Whispers in the Dabbas memiliki peran penting sebagai alat pendidikan politik dan pemberdayaan masyarakat untuk lebih kritis terhadap ketidakberesan sistem hukum di Indonesia.
Garin Nugroho, yang juga bertindak sebagai produser, menekankan pentingnya film sebagai sarana kritik sosial, mengingat ketegangan yang masih terasa dalam sistem peradilan Indonesia.
“Film sebagai karya yang terbuka dan kritis, yang dituturkan secara personal, selalu memiliki tempat di festival film dunia. Terlebih lagi, film ini memihak pada masyarakat dan berupaya mengangkat suara-suara yang terpinggirkan,” ujar Garin Nugroho dalam keterangan pers.
Whispers in the Dabbas juga menggugah penonton dengan penggunaan drama, investigasi, dan satir. Seperti yang diungkapkan oleh Stefan Borsos, seorang programmer IFFR, film ini memiliki “gaya yang tidak mencolok” namun dengan kuat mengungkap ketidakadilan yang terjadi dalam sistem peradilan Indonesia, menggabungkan melodrama dengan humor gelap yang tajam.
“Ketidakadilan yang terjadi pada berbagai karakter dalam film ini terkadang hampir tak tertahankan. Di sisi lain, film ini juga menyelipkan referensi-referensi yang mengarah pada peristiwa 1965, menyingkap ketidaknyamanan dalam kontinuitas sejarah yang belum terselesaikan,” ujar Borsos dalam unggahannya di media sosial.
Film ini semakin memperkaya keberagaman film Indonesia yang turut berpartisipasi di IFFR 2024. Selain Whispers in the Dabbas, film Indonesia lainnya yang tampil di festival tersebut antara lain Gowok karya Hanung Bramantyo, Perang Kota oleh Mouly Surya, dan Midnight in Bali karya Razka Robby Ertanto.
Dengan tema yang relevan dan menggugah, Whispers in the Dabbas tidak hanya mengundang apresiasi sebagai karya seni, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya perubahan dalam sistem peradilan Indonesia. Film ini mengajak penonton untuk lebih kritis dan reflektif terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka, serta mengingatkan kita tentang kekuatan film sebagai alat untuk perubahan sosial.