Radarjakarta.id | SUMUT – Fenomena pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah makin marak di Indonesia. Orang Indonesia menyebut pasangan yang tinggal bersama, serumah meskipun tidak menikah dengan istilah ”kumpul kebo”. Cara hidup seperti itu, dahulu, disebut koempoel gebouw.
bahasa Belanda, gebouw berarti bangunan atau rumah. Oleh karena itu, koempoel gebouw artinya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah.
Hal ini terjadi saat norma hukum dan agama tidak menyetujui adanya hal ini.
Melansir The Conversation dalam pemberitaannya, salah satu penyebab utama para anak muda memutuskan untuk melakukan kohabitasi atau tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan adalah adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan.
Sebenarnya, sebutan tersebut ingin menganalogikan perilaku manusia yang seperti binatang: tinggal dalam satu atap tanpa ikatan resmi.
Dengan demikian, sebutan tersebut sebenarnya bernada miring, negatif terhadap perilaku orang yang hidup bersama tanpa adanya ikatan yang sah.
Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka memandang “kumpul kebo” sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta.
Sementara itu dari segi kesehatan, “kumpul kebo” dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.
Menurut data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.
“Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status “anak haram”, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.
“Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” lanjutnya.***