RADAR JAKARTA|Jakarta – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, akhirnya ditangkap oleh kepolisian Filipina pada Selasa, 11 Maret 2025, atas permintaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Penangkapan ini berkaitan dengan dugaan keterlibatannya dalam ribuan pembunuhan selama perang melawan narkoba yang ia canangkan semasa kepemimpinannya.
Penangkapan dan Penyerahan Duterte ke ICC
Setelah penangkapannya, Duterte segera diserahkan ke ICC di Den Haag, Belanda. Sesampainya di Belanda, ia dibawa ke unit penahanan ICC untuk persiapan sidang perdananya di pengadilan. ICC menyatakan bahwa surat perintah penangkapan telah ditindaklanjuti oleh kepolisian Filipina dan menegaskan bahwa Duterte menghadapi dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Ia ditangkap oleh otoritas Republik Filipina sesuai dengan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan… atas tuduhan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” bunyi pernyataan resmi ICC yang dikutip oleh AFP, Kamis (13/3/2025).
Tantangan Hukum dari Pihak Duterte
Kuasa hukum Duterte berusaha menantang keputusan ini dengan mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Filipina atas nama putri bungsunya, Veronica Duterte. Mereka menuduh bahwa Duterte telah diculik oleh pemerintah dan meminta agar ia dipulangkan ke Manila.
Sebelum penangkapan, ICC telah menerbitkan surat perintah penangkapan pada Jumat, 7 Maret 2025, dan mengirimkan red notice ke Interpol, yang kemudian diteruskan kepada kepolisian Filipina. Tim hukum Duterte juga mempertimbangkan untuk menggugat prosedur penangkapan yang dilakukan di bandara.
Kondisi Penahanan Duterte di ICC
Penjara ICC di Scheveningen, Den Haag, dikenal memiliki fasilitas yang lebih manusiawi dibandingkan penjara pada umumnya. Setiap sel dilengkapi tempat tidur, meja, kursi, lemari, televisi, wastafel, toilet, serta rak gantung. Para tahanan juga mendapat akses ke perpustakaan, ruang olahraga, serta komputer tanpa akses internet untuk menyiapkan pembelaan mereka. ICC menyediakan tiga kali makan sehari, dan para tahanan diperbolehkan memasak dengan bahan makanan yang telah disediakan.
Selain itu, tahanan dapat menerima kunjungan dari keluarga beberapa kali dalam setahun, dan bagi mereka yang tidak mampu, ICC akan menanggung biaya kunjungan tersebut.
Latar Belakang Perkara dan Tuduhan ICC
Duterte dikenal dengan kebijakan “perang melawan narkoba” yang ia luncurkan setelah menjabat sebagai presiden pada 2016. Kampanye ini menyebabkan ribuan eksekusi terhadap tersangka pengedar dan pengguna narkoba, banyak di antaranya dieksekusi tanpa proses peradilan.
Menurut data kepolisian Filipina, sekitar 6.200 orang terbunuh dalam operasi anti-narkoba. Namun, kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi, berkisar antara 12.000 hingga 30.000 orang, termasuk warga miskin di daerah kumuh yang masuk dalam “daftar pengawasan” pemerintah.
Kronologi Kasus Duterte di ICC
- 2016: Jaksa ICC, Fatou Bensouda, mulai memantau Filipina karena tingginya jumlah pembunuhan dalam perang melawan narkoba.
- 2017: Edgar Matobato, mantan anggota “Pasukan Kematian Davao,” mengajukan pengaduan ke ICC, mengklaim memiliki bukti kuat terhadap Duterte.
- 2018: ICC memulai pemeriksaan awal atas pengaduan tersebut. Duterte merespons dengan menyatakan bahwa ICC “tidak memiliki yurisdiksi” atas dirinya.
- 2019: Filipina resmi menarik diri dari ICC, tetapi penyelidikan tetap berlanjut karena dugaan kejahatan terjadi saat Filipina masih menjadi anggota.
- 2020: ICC menemukan “dasar yang masuk akal” untuk meyakini bahwa Duterte telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang narkoba.
- 2021: ICC memberikan izin untuk memulai penyelidikan formal, meskipun Duterte menolak untuk bekerja sama.
- 2022: Jaksa ICC, Karim Khan, mengajukan permohonan untuk melanjutkan penyelidikan karena pemerintah Filipina dinilai gagal menangani kasus ini secara independen.
Dampak dan Reaksi Internasional
Penangkapan Duterte menuai beragam reaksi. Komunitas internasional, terutama kelompok pegiat hak asasi manusia, menyambut baik langkah ICC sebagai langkah menuju keadilan bagi para korban. Sebaliknya, pendukung Duterte di Filipina mengecam tindakan ini dan menuduhnya sebagai upaya campur tangan asing dalam kedaulatan negara.
Dengan proses hukum yang kini berjalan di ICC, dunia menanti apakah Duterte akan dinyatakan bersalah atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan atau berhasil membela diri dalam persidangan mendatang. (*)