Radarjakarta.id | JAKARTA – Situasi di Republik Demokratik Kongo (DRC) kian mencekam setelah kelompok pemberontak M23 menguasai bandara utama di kota Goma. Konflik yang telah berlangsung selama satu dekade ini semakin intensif dengan ribuan korban jiwa dalam sepekan terakhir.
Dilansir AFP, Rabu (29/1/2025), pasukan bersenjata M23 yang didukung oleh militer Rwanda memasuki pusat Goma pada Minggu (26/1) malam setelah berminggu-minggu melakukan serangan bertahap. Hingga kini, belum dapat dipastikan area mana yang masih berada di bawah kendali pasukan pemerintah Kongo.
Di ibu kota Kongo, Kinshasa, aksi protes besar-besaran meletus sebagai respons terhadap dugaan campur tangan asing. Massa yang marah menyerang kompleks PBB serta sejumlah kedutaan besar, termasuk Rwanda, Prancis, dan Amerika Serikat. Kedutaan besar Kenya bahkan dijarah oleh demonstran.
Korban Jiwa Meningkat, Kota Goma di Ambang Kehancuran
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa lebih dari 700 orang tewas akibat pertempuran dalam kurun waktu sepekan. Rumah Sakit Umum Goma kewalahan menangani ratusan jenazah yang terus berdatangan, sementara ratusan warga lainnya memilih kembali ke kota setelah pemberontak menjanjikan pemulihan layanan dasar seperti listrik dan air.
“Angka-angka ini masih sementara, karena pemberontak meminta warga membersihkan jalan-jalan. Kemungkinan ada kuburan massal,” ujar seorang pejabat Palang Merah Kongo.
Situasi kemanusiaan di Goma semakin memburuk. Jens Laerke, juru bicara Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA), mengungkapkan bahwa laporan dari lapangan menyebutkan adanya pemerkosaan, penjarahan, serta fasilitas kesehatan yang menjadi sasaran serangan.
“Rumah sakit penuh sesak dengan korban luka, bahkan pasien dirawat di lorong-lorong. Gudang obat dijarah, dan ada kekhawatiran mengenai laboratorium yang menyimpan virus berbahaya seperti ebola,” kata Francois Moreillon dari Komite Palang Merah Internasional.
Bandara Goma Jatuh ke Tangan M23, Jalur Vital Terancam
Penguasaan Bandara Goma oleh M23 menandai eskalasi serius dalam konflik ini. Bandara yang sebelumnya menjadi jalur utama bagi pasokan kemanusiaan, pasukan penjaga perdamaian, serta logistik militer Kongo kini berada di bawah kendali pemberontak.
“Melalui bandara ini, PBB dan organisasi kemanusiaan memasok bantuan bagi warga yang terdampak konflik. Dengan jatuhnya bandara, akses ke dunia luar semakin sulit,” ujar Christoph Vogel, peneliti Kongo.
M23 merupakan salah satu kelompok pemberontak terkuat di Kongo, dengan sekitar 4.000 pejuang yang mendapat dukungan dari Rwanda. Kelompok ini berupaya menguasai wilayah timur Kongo yang kaya akan mineral, termasuk sumber daya yang krusial bagi industri teknologi global.
Dunia Internasional Diminta Bertindak
Aksi protes di Kinshasa menunjukkan meningkatnya ketegangan politik di dalam negeri. Massa meneriakkan slogan anti-Rwanda dan menuding negara-negara Barat, termasuk Prancis dan Amerika Serikat, mendukung kepentingan Rwanda di Kongo.
“Apa yang dilakukan Rwanda tidak mungkin tanpa keterlibatan Prancis, AS, dan Belgia. Rakyat Kongo sudah muak. Berapa kali lagi kami harus mati?” ujar seorang pengunjuk rasa, Joseph Ngoy.
Dengan meningkatnya ketegangan dan memburuknya kondisi kemanusiaan, dunia internasional didesak untuk segera mengambil tindakan guna menghentikan konflik yang telah menewaskan ribuan warga sipil ini.[*]