RADAR JAKARTA|Jakarta — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah dan mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Berdasarkan pantauan di pasar spot pada Senin, 7 April 2025 pukul 10.43 WIB, kurs rupiah tercatat menyentuh Rp17.261 per dolar AS. Bahkan sebelumnya, sempat menyentuh Rp17.276 per dolar pada pukul 10.30 WIB.
Data e-Rate Bank BCA mencatat kurs jual dolar AS pada pukul 07.10 WIB berada di angka Rp16.950, dengan kurs beli sebesar Rp16.600 naik Rp60 dari hari sebelumnya. Sementara itu, platform Wise menunjukkan nilai tukar berada di level Rp16.883 pada pukul 14.35 WIB.
Faktor Pemicu: Kombinasi Global dan Domestik
Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menilai anjloknya nilai rupiah dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Dari sisi global, penguatan dolar AS menjadi faktor utama, terutama akibat kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
“Investor global cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi di aset berdenominasi dolar,” jelas Listya, Senin (7/4).
Dari sisi domestik, faktor-faktor seperti neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas politik juga turut berperan. Ketika muncul kekhawatiran terhadap pelemahan ekonomi dalam negeri, tekanan terhadap rupiah semakin menguat.
“Permintaan musiman terhadap dolar, seperti menjelang Lebaran atau untuk pembayaran utang luar negeri korporasi, juga bisa mendorong volatilitas jangka pendek,” tambahnya.
Bahaya yang Mengintai Stabilitas Ekonomi
Listya memperingatkan bahwa jika tidak ditangani dengan cepat, gejolak nilai tukar dapat menciptakan ketidakpastian serius di sektor ekonomi. “Pelaku usaha kesulitan menetapkan harga, investor menahan diri, dan beban utang luar negeri dalam dolar akan membengkak,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa tanpa komunikasi dan kebijakan yang jelas dari otoritas moneter seperti Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan, dampaknya bisa meluas pada inflasi impor, defisit neraca transaksi berjalan, hingga turunnya kepercayaan investor asing.
Respon Pemerintah dan Pandangan Pelaku Pasar
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa pelemahan rupiah hingga menembus Rp17.000 masih dalam batas wajar. Ia menilai kondisi ini dipicu oleh sentimen eksternal seperti tarif impor AS.
“Level ini masih dalam batas normal dan bisa menjadi bagian dari mekanisme penyesuaian terhadap tekanan eksternal,” ujar Luhut dalam acara Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta.
Namun, Luhut juga mewanti-wanti dampak lanjutan dari perang dagang dan perlambatan ekonomi global, terutama di Tiongkok, yang bisa menambah tekanan terhadap perekonomian Indonesia.
Analis: Prediksi Penurunan Suku Bunga The Fed Meleset
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menyoroti bahwa penguatan dolar AS juga didorong oleh data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari ekspektasi serta pernyataan dari The Fed yang menunda rencana penurunan suku bunga.
“Prediksi penurunan suku bunga sebanyak tiga kali atau 75 basis poin di 2025 kemungkinan besar hanya tinggal mimpi. Ini yang menyebabkan indeks dolar kembali menguat signifikan,” jelas Ibrahim.
Ia juga menambahkan bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah dan gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai negara bagian AS turut menambah ketidakpastian global yang berimbas pada pelemahan rupiah.***