Radarjakarta.id | JAKARTA – Kalem, hangat dan humble. Begitu kesan sosok yang saya kenal sejak 31 tahun yang lalu. Kesan itu tidak berubah saat kami kembali bertemu di kantornya, Gedung C lantai 1 Kementerian Transmigrasi, Jakarta, pada 24 Desember 2024 yang lalu.
“Sebenarnya pengen ngomong banyak nih. Tapi tiba-tiba Pak Menteri mengajak rapat,” ujarnya setelah berpelukan. Di meja pertemuan sudah ada dua warga asal Lamongan yang diterimanya dengan baik.
Memang, kini Viva Yoga Mauladi, tokoh politik yang dibesarkan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak akhir 1980-an, sejak 21 Oktober 2024 yang lalu menjabat Wakil Menteri Transmigrasi pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden Prabowo.
Belum banyak yang bisa dinilai dari kinerjanya yang baru seumur jagung. Namun di tengah konsolidasi organisasi kementerian yang sebelumnya disatukan dengan Kementerian Desa dan Transmigrasi, Viva Yoga sudah bergelut dengan tugas sehari-hari sebagai wakil menteri langsung terjun ke masyarakat.
Hari Bhakti Transmigrasi
Sebut saja pada 10 Desember 2024, pria kelahiran Lamongan 30 Mei 1968 ini ditugaskan oleh Menteri Transmigrasi Sulaiman Suryanegara memimpin upacara Hari Bhakti Transmigrasi yang mestinya jatuh pada tanggal 12 Desember sekaligus acara tabur bunga di makam pelopor transmigrasi di desa Sukra, Kabupaten Indramayu.
Sekedar informasi, Hari Bhakti Transmigrasi ditetapkan oleh pemerintah untuk mengenang kisah pemberangkatan pertama oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap 23 keluarga transmigran asal Jawa ke Lampung dan 2 keluarga lainnya ke Lubuklinggau pada 12 Desember 1950.
Kedua wilayah tujuan transmigrasi ketika itu masih masuk wilayah Sumatera Bagian Selatan yang kini terpecah menjadi wilayah 5 provinsi yang meliputi Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung dan terakhir kali Bangka Belitung.
Dalam sambutan mengenang peristiwa bersejarah itu, Viva Yoga mengatakan hari ini kita berkumpul di tempat yang memiliki sejarah besar di mana para Pionir Transmigrasi telah gugur dalam upaya mereka untuk merintis hidup baru dan bermimpi untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kenang Pelopor Transmigrasi
Acara tabur bunga itu sendiri untuk mengenang gugurnya 67 transmigran asal Kabupaten Boyolali yang berangkat menuju Unit Penempatan Transmigran (UPT) Gunungbalak, Provinsi Lampung, pada 11 Maret 1974. Kala itu bus yang ditumpangi rombongan transmigran terguling di kali Sewo yang lokasinya tidak jauh dari makam tempat acara tabur bunga diselenggarakan.
Para transmigran yang gugur itu, ungkap Viva Yoga yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) selanjutnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Pionir Pembangunan Transmigrasi” dan nama yang sama disematkan untuk kompleks pemakaman dengan semboyan Jer Basuki Mawa Bea yang artinya untuk mencapai kebahagiaan perlu pengorbanan.
Dokter Hewan lulusan Universitas Udayana, Bali ini tidak bisa menyembunyikan rasa harunya tatkala membacakan peristiwa yang terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu itu.
“Mereka simbol keberanian, ketangguhan, dan semangat untuk merajut keadilan sosial melalui pemerataan pembangunan,” ujarnya.
“Kita wajib memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang telah mendahului kita, terutama mereka yang menjadi korban dalam perjuangan ini,” tambahnya.
Magister Ekonomi lulusan Universitas Indonesia tidak ragu menyebut ke-67 transmigran itu sebagai pejuang untuk memperbaiki nasib dalam mengisi pembangunan bangsa dan negara. “Doa kita mengiringi perjalanan 67 patriot bangsa menuju keabadian,” tuturnya.
Paradigma Baru Transmigrasi
Toh demikian, Viva Yoga juga menegaskan, transmigrasi tidak hanya menjadi program masa lalu namun juga harus tetap relevan di era sekarang melalui pengembangan paradigma baru, bukan hanya pemindahan jumlah KK melainkan juga memastikan juga tingkat kesejahteraannya serta warga sekitar di lokasi permukimannya yang baru
Pergeseran paradigma pembangunan transmigrasi ini diterjemahkan dalam 4 program prioritas yang meliputi pertama, revitalisasi 45 Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional sebagai bagian dari RPJMN 2025-2029; Kedua, mendorong pengembangan kawasan transmigrasi transpolitan yang terintegrasi dan inklusif; Ketiga, menjadikan transmigran sebagai bagian dari Komponen Cadangan; Keempat, Pendataan dan digitalisasi warga transmigran serta kawasan transmigrasi.
Dengan paradigma baru itu, beber Viva Yoga, akan berdampak terhadap pergeseran indikator keberhasilan program yaitu peningkatan produktivitas SDM dan penambahan nilai ekonomi di kawasan transmigrasi.
Maka, sebut Viva Yoga, dibutuhkan upaya pendataan dan digitalisasi ketransmigrasian melalui inventarisir Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Transmigrasi serta inventarisir Izin Pelaksanaan Transmigrasi (IPT) yang berada di atas HPL yang sekarang sudah ada 53 badan usaha terdaftar.
Kelengkapan IPT dan HPL, sambung Viva Yoga, akan menjadi basis data untuk pengembangan peluang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diharapkan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup warga transmigran dan warga sekitar kawasan.
Dapat disimpulkan, lanjut Viva Yoga, pengembangan Kawasan Transmigrasi dan pemberdayaan warga transmigran tidak perlu sepenuhnya bergantung pada sempitnya ruang fiskal anggaran pemerintah.
Bahkan diharapkan Kementerian Transmigrasi justru bisa berkontribusi pada keuangan negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sosok pria yang dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah Lamongan ini optimis, paradigma transmigrasi yang baru adalah mimpi kita bersama untuk mewujudkan Transmigrasi sebagai Program pembangunan yang tetap relevan di tengah modernisasi dan kemajuan teknologi.
“Semangat transmigrasi dalam membangun Indonesia tidak boleh bermaksud untuk mengkotak-kotakan pembangunan,” ujarnya.
“Niat dan tekad untuk membangun Ibu Pertiwi sudah sepantasnya terpatri dalam sanubari kita masing-masing,” tambahnya.
Namun sayang, perbincangan seru itu terpotong karena, ucap mbak Sandra, sekretaris pribadinya, Pak Menteri sudah menunggunya di ruang rapat. Toh begitu sebelum berpisah kami sempat foto-foto. | | Marlin Dinamikanto*