RadarJakarta.id|JAKARTA – Pemerintah hendaknya segera membatalkan aturan ekspor pasir, sebab hal itu sama dengan menjual Tanah Air. Satu demi satu pulau-pulau kita hilang tak berbekas, sebab sudah dipindahkan ke luar negeri. Maka segera tangkap pengusul kebijakan ini.
Lebih mulia menyewakan pulau-pulau kecil kepada asing, ketimbang menjual dengan harga yang sangat murah. Kalau menyewakan dianggap melanggar kedaulatan, apalagi kalau diekspor (menjual Tanah Air). Maka hentikan ekspot pasir.
“Hilangnya kedaulatan jangan hanya dipahami sebagai invasi asing yang merebut wilayah/teritori RI, tetapi juga hilangnya pulau (tanah dan air) akibat ‘diekspor’ atau pindah ke luar negeri,” tegas Immanuel Ebenezer, Ketua Umum Jokowi Mania, di Jakarta, Senin (23/09/2024).
Oleh karena itu, Noel meminta pemerintah membatalkan PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (tertanggal 15 Mei 2023). Terlalu banyak argumentasi ekologis yang menjadi dasar mencabut atau mengubah PP ini. Pemerhati lingkungan seantero dunia, akan senang jika PP ini dibatalkan.
Dalam sejarah mempertahankan wilayah, dulu kita bersengketa dengan Malaysia atas pulau Sipadan (10,4 hektar) dan Ligitan (7,4 hektar), di timur laut Kalimantan. Meskipun total kedua pulau itu hanya 17,8 hektar, tetapi sangat berarti bagi keutuhan wilayah RI.
Bandingkan luas Sipadan-Ligitan (17,8 hektar) dengan luas pulau/wilayah yang sudah hilang karena pasir diekspor. “Para para petinggi harus jujur mengungkap, sudah berapa luas pulau yang hilang karena pasir dijarah.” Tandas Noel.
Sedangkan konsesi yang diberikan melalui PP 26/2023, seluas 131.157 hektar. Ini artinya 7.368 kali pulau Sipadan-Ligitan. Lebih dari tujuh ribu kali. “Omong kosong kalau disebut hanya sedimentasi, itu hanya teori. Pengalaman dalam Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah membuktikan.
Seperti diketahui, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, Sabtu (21/9/2024) mengatakan, sebaiknya pemerintah meminta masukan kepada sejumlah pakar sebelum mengekspor pasir laut. Menurutnya, itu akan menujukkan plus dan minusnya.
Partai Gerindra meminta keputusan itu ditunda lebih dulu. “Ya, saya mengusulkan, kalau bisa, rencana ekspor pasir-laut, kalau memungkinkan, ditunda dulu,” katanya.
“Ya, ini pandangan kami. Ada baiknya juga pandangan dari para ahli ekonomi, ahli ekologi, ahli lingkungan. Untuk kita perhatikan bahwa kita akan menghadapi sebuah perubahan dan masalah ekologi laut yang cukup serius ke depan kalau kegiatan ini dilanjutkan,” ungkap dia.
Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut (28 Februari 2003) yang melarang ekspor pasir, sesungguhnya sudah benar.
Dahulu, SK ini dianggap sebagai bukti bahwa Indonesia mendukung kelestarian lingkungan dan secara politik mendukung ketahanan nasional.
Namun yang sekarang terjadi, PP 26/2023 “menghilangkan” Tanah Air. Kita bukannya menambah luas wilayah, malah mengurangi. “Luas wilayah tidak berkurang, tetapi jumlah pulau berkurang, ekologi terganggu,” tandasnya.
Berjujur Diri
Immanuel (yang lebih dikenal sebagai Noel), mengatakan, pemerintah hendaknya berjujur diri, sudah berapa banyak pulau kecil di Selat Malaka (seberang Singapura) yang sudah hilang, karena pasirnya diekspor/dijual secara tidak terkendali.
Green Peace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pasti mempunyai data lengkap, maka lebih baik pemerintah jujur kepada masyarakat.
“Jangan dibilang bahwa luas konsesi tambang/ekpor pasir yang 131.157 hektar hanya mengambil pasir sedangkan luas wilayah kita tidak berkurang. Luas wilayah tetap, tetapi isinya tak ada lagi, karena sudah dipindahkan menjadi untuk memperluas daratan pulau di wilayah lain,” tegas Noel. (*)