Dan banyak kisah para Sayid dari klan bin Yahya, Baabud, Basyaiban, Bafaqih dan lain-lainnya yang berada dalam barisan Diponegoro. Dan tetap menentang kolonialisme meski dalam skala yang lebih kecil. Terlalu panjang jika diuraikan.
Dalam dokumen Belanda disebut seorang bernama Sayid Muhammad. Dari Hadramaut beliau ke Mekah lalu ke Aceh dan masuk ke Jawa mengobarkan perlawanan dan ditangkap tahun 1815, dan diasingkan tanpa diketahui makamnya.
Ia dijuluki Sayid Muhammad Kramat. Bahkan dalam laporan disebut, perlawanannya terhadap kolonial, menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro dalam mengobarkan perang Jawa.
Di Aceh terkenal nama Sayid Mahmud yang menentang kolonial. Saking sulitnya dideteksi karena bergerilya keluar masuk hutan, menyebabkan Belanda mengirim mata mata yang lalu bisa di lukis oleh intelejen Belanda tersebut di tahun 1883.
Ia dijuluki Sayid Kramat. Dan juga ada Sayid Abdullah Alatas yang dijuluki Tengku Panglima dalam perang Aceh tahun 1871.
Ia terkenal karena mencari senjata senjata untuk berperang melawan kolonial. Serta tentu saja kisah yang sudah terkenal Sayid Abdurrahman Azzahir dalam perang Aceh.
Di tahun 1900-an banyak Sayid yang dipenjara karena melawan kolonial. Diantaranya Sayid Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor), Sayid Salim bin Jindan (Jakarta), Sayid Ali Kwitang, dan masih banyak lagi.
Tahun 1943 Sayid Shaleh Alaydrus (Kubu) diculik oleh Jepang lalu dihukum mati karena menentang penjajahan Jepang di Kalimantan Barat. Hingga kini jasadnya belum diketahui.
Tahun 1944 Sultan Syarif Muhammad Al Kadri (Pontianak) beserta keluarga dan pengikutnya dibunuh oleh tentara Jepang karena mengobarkan perlawanan.
Ketika tahun 1948 pecah perang di Semarang dalam agresi militer ke-2 Belanda, telah gugur Sayid Umar bin Abdillah Assegaf dan dimakamkan di taman makam Pahlawan di Semarang.
Dalam agresi 1948 tersebut ada seorang Sayid, bernama Husin bin Salim Al Muthahar yang sangat di percaya oleh Presiden Soekarno untuk menyelamatkan bendera pusaka.