Foto: Cagar budaya, Klenteng tertua ‘Ing Hok King‘ Jalan Klenteng, Bagansiapiapi, Rohil (dok. Santi Sinaga/Radarjakarta.id)
Radarjakarta.id | ROKAN HILIR – Tradisi perayaan Cap Go Meh dirayakan secara rutin setiap tahunnya, di tanggal 15 bulan pertama menurut sistem penanggalan kalender Imlek.
Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkian yang jika diartikan secara bahasa atau harfiah bermakna “15 malam atau hari setelah Imlek”. Bila dipenggal per kata, ‘Cap’ memiliki arti sepuluh, ‘Go’ adalah lima, dan ‘Meh’ berarti malam.
Tahun ini, hari raya Imlek dilaksanakan pada hari Sabtu,10 Februari 2024. Karena itu, Cap Go Meh pun akan berlangsung pada Sabtu, 24 Februari 2024.
Rokan Hilir (Rohil) Riau, Perayaan malam puncak Cap Go Meh dimeriahkan Lantern Festival atau ‘Pawai Lampion’ yang dilepas langsung oleh Bupati Rokan Hilir Afrizal Sintong yang dilaksanakan di cagar budaya, Klenteng tertua ‘Ing Hok King’ Jalan Klenteng, Bagansiapiapi, Rohil dengan sangat meriah pada Sabtu malam (24/2/2024).
Bupati Afrizal Sintong dalam sambutannya mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek 2575 dan malam Cap Go Meh bagi warga Tionghoa, serta apresiasi buat seluruh tokoh dan warga Tionghoa yang sudah memeriahkan malam Cap Go Meh dengan melaksanakan pawai lampion setiap tahunnya.
“Kami atas nama pemerintah daerah mengucapkan selamat merayakan tahun baru Imlek 2575 dan malam Cap Go Meh. Apresiasi juga buat para tokoh kelenteng dan warga Tionghoa baik yang ada di Bagansiapiapi maupun dari perantauan yang sudah memeriahkan malam cap Goh Meh dengan menggelar pawai lampion,” Sambutnya.
Acara ini juga dihadiri Forkompinda Rahil diantaranya, Kapolres Rohil AKBP Andrian Pramudianto, Dandim 0321/Rohil Letkol Kav Nugraha Yudha Prawiranegara, Kajari Rohil Yuliarni Appy, Sekda Rohil Fauzi Efrizal, Keluarga besar Pengusaha raja baut Sugianto, Ketua Mukti marga Ko Peng, beserta para tokoh masyarakat Tionghoa.
Sementara itu, Ketua Panitia pelaksanaan pawai lampion Jasman melalui Hasanto menerangkan bahwa pelaksanaan pawai lampion malam Cap Go Meh di ikuti 18 peserta diantaranya 16 peserta dari Kelenteng marga tionghoa, dan 1 dari peguyuban Jawa Hang Buditomo serta Batak Bersatu.
“Kami mewakili masyarakat Tionghoa dan pihak panitia mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bupati beserta Forkompinda yang sudah Sudi hadir pada malam festival lampion memeriahkan malam Cap Go Meh ini,” lanjutnya.
Hasanto menambahkan bahwa Tahun Baru Imlek 2575 Tahun 2024 merupakan tahun Shio Naga Kayu dimana masyarakat Tionghoa mempercayai bahwa Naga Kayu dalam zodiak China diartikan sebagai awal yang baru bagi kesuksesan, Naga Kayu hanya muncul sekali setiap 60 tahun, menjadikannya makhluk langka dan menakjubkan.
Semoga di tahun Naga Kayu ini kita semua diberikan kesuksesan, dan semoga Rokan Hilir makin maju kedepannya, Gong Xi Fa Cai,” pungkasnya.
Kegiatan pawai lampion memeriahkan malam Cap Go Meh ini pembiayaannya dari swadaya warga Tionghoa baik dari Bagansiapiapi maupun dari luar. Dan peserta pawai lampion terbaik, pihak panitia telah mempersiapkan piala dan piagam.
Legenda Cap Go Meh
Alkisah, upacara Cap Go Meh dilaksanakan secara tertutup hanya kalangan istana dan belum dikenal secara umum oleh masyarakat Tiongkok.
Beberapa sumber pun menyebut perayaan ini merupakan bentuk penghormatan kepada dewa tertinggi di Dinasti Han, Dewa Tai Yi. Perayaan kala itu masih dilaksanakan tertutup oleh kalangan istana dan belum tersebar luas.
Selain itu, terdapat pula makna tersendiri mengenai Cap Go Meh pada agama Konghucu. Pada agama tersebut, Cap Go Mehpada agama Konghucu. Pada agama tersebut, Cap Go Meh diperingati sebagai hari untuk berdoa kepada Tuhan terkhusus tentang orang tua. Misalnya hal baik yang akan datang, rezeki yang berlimpah, hingga kesehatan yang senantiasa diberikan.
Tak hanya Cap Go Meh, penyebutan hari raya kelima belas Imlek tersebut juga berbeda-beda, Sebut saja Yuánxiojié, Shàngyuánjié, hingga Lantern Festival.
Awal perayaan Cap Go Meh dapat ditelusuri hingga era Dinasti Han sekitar tahun 206 SM hingga 220 SM. Saat itu, para biksu Buddha menyalakan lentera pada hari ke-15 Imlek untuk menghormati Sang Buddha.
Akan tetapi, terdapat pula legenda tentang asal mula perayaan dengan lentera tersebut. Diceritakan, Kaisar Giok atau Jade Emperor marah kepada penduduk di sebuah kota karena membunuh angsanya. Sang Kaisar pun berencana membakar kota tersebut.
Namun, rencana tersebut gagal akibat bisikan seorang peri. Peri tersebut menyarankan penduduk di kota tersebut untuk menerbangkan lentera yang sudah dibakar.
Mengira kota tersebut sudah terbakar, sang Kaisar pun membatalkan niatnya dan kembali ke kerajaannya. Sebagai wujud rasa syukur, lentera diterbangkan setiap tahunnya pada waktu yang sama, yakni 15 hari setelah Imlek. Tradisi tersebut pun berkembang dan menyebar ke berbagai negara.
Hal ini pun banyak terinspirasi dari perayaan Cap Go Meh di China daratan, Pada anggota keluarga akan berkumpul bersama dan menyantap jamuan makan besar. Makanan pun harus mewakili tiga unsur kehidupan, yakni unsur darat (misal ayam), unsur laut (misal ikan), dan unsur darat (misal sapi).
Malam Cap Go Meh pun terasa ramai karena banyaknya masyarakat yang beribadah. Kemudian, ada pula yang menyalakan lentera untuk menghormati budayanya.
Selain festival lentera, terdapat pula barongsai, pawai tahun baru, hingga tradisi membawa hadiah kepada teman terdekat. Uniknya, hadiah tersebut diberikan bersama dua buah jeruk yang dibungkus oleh paper bag. Kedua jeruk tersebut pun melambangkan berkah yang berganda, mulai dari ‘keberuntungan besar’ hingga ‘hal yang baik akan datang untuk pasangan’. | Santi Sinaga*