Radarjakarta.id | JAKARTA – Ketua Bawaslu Periode 2017-2022 Abhan menyoroti Pemerintah untuk berhati-hati dalam melaksanakan kebijakan bantuan sosial atau bansos dalam situasi politik menjelang Pemilihan Umum 2024 agar tidak disalahgunakan dan disalah artikan. Salah satu cara menghindari politisasi bantuan sosial adalah menyederhanakan mekanisme penyalurannya menggunakan sistem digitalisasi tanpa tunai dan transparansi data, dalam diskusi ‘Waspada Tsunami Politisasi Bansos pada Pemilu 2024’ di Media Center Bawaslu RI Jakarta, Jl. MH. Thamrin No. 14 Jakarta Pusat, Minggu (7/1/2024).
Abhan meminta Bawaslu RI untuk merekomendasikan penangguhan bansos di masa kampanye.
Bawaslu RI diminta mengawasi program bantuan sosial (bansos) menjadi misi sebagai alat politik dan pelanggaran pemilu saat Memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Mulai dari untuk program keluarga harapan (PKH); kartu sembako; bantuan langsung tunai (BLT), subsidi BBM, Listrik, dan Bunga KUR, serta bantuan pangan.
Anggota Bawaslu Puadi menyatakan bantuan sosial (bansos) merupakan program pemerintah yang tidak ada hubungannya dengan pemilu. Meski demikian, dia menyebutkan, apabila bansos digunakan sebagai alat untuk menjanjikan atau memberikan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung maka dapat dikualifikasi sebagai politik uang.
Dia menjelaskan bentuk menjanjikan atau memberikan yang diatur oleh Undang Undang yakni seperti untuk memilih peserta pemilu tertentu, ataupun tidak menggunakan hak pilihnya, memilih parpol peserta pemilu tertentu, serta memilih calon anggota DPD tertentu.
“Politik uang tidak hanya dimaknai dengan pemberian saja melainkan ketika sudah ada menjanjikan itu dinamakan politik uang,” ungkap dia dalam Diskusi Media bertema ‘waspada tsunami politisasi bansos pada Pemilu 2024’ di Media Center Bawaslu, Jakarta, Minggu (7/1/2024).
Bawaslu mengatakan bahwa Bansos saat masa kampanye atau masa tenang kampanye pada pemilu 2024 menjadi ancaman, untuk ukuran demokrasi karena dianggap pembodohan publik dan pelanggaran pemilu.
“Nantinya, penerima manfaat bansos kemungkinan besar akan diminta memilih salahsatu paslon capres, caleg tertentu, ini yang kami kawatirkan,” papar Mike.
Bawaslu RI akan mengawasi dan melakukan pencegahan terjadinya penyalagunaan, kewenangan kepala daerah yang berpotensi menjadi alat money politice dalam penyaluran bansos.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 Tahun 2015 tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga rentang saat dilaksanakan saat pemilu 2024, Bawaslu RI mengusulkan agar bansos di salurkan setelah pemilu, untuk mencegah terjadinya potensi persoalan baru dan pelanggaran pemilu.
“Dari proses tidak ada abuse of power, tidak ada penyalahgunaan wewenang, tidak ada yang melanggar aturan main dalam pemilu, hasilnya pemilu yang luber dan jurdil. Peran ini tidak hanya penyelenggara saja tapi peserta pemilu itu sendiri, masyarakat dan negara,” ucap Abhan.
Sementara Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Center memandang potensi tsunami politisasi bansos sangat mungkin. Baginya, politisasi bansos potensinya besar karena sekarang ini baru dilihat pada porsi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), belum dilihat dari proporsi APBD. Oleh karena itu pemilih, penyelenggara, peserta termasuk penyelenggara negara harus memastikan proses bansos tidak dijadikan bancakan untuk politik pemenangan. | Eka*