Putusan MK Tidak Mewakili Anak Muda

banner 468x60

Radarjakarta.id | JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus no 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan Gibran Rakabumi Raka menuju Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) menandakan ada kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Putusan yang dinilai syarat dengan nepotisme tersebut sudah mencoreng wajah MK sebagai benteng akhir konstitusi. Tidak benar jika putusan tersebut mewakili atu untuk kepentingan anak muda Indonesia. Untuk itu Anwar Usman sebagai Ketua MK yang dicurigai melakukan praktik nepotisme harus mundur dari MK.

Demikian ditegaskan Yansen Dinata
Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute dalam acara Talkshow Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) di Ayoja Coffee, Jakarta, Sabtu (11/11). Talkshow mengangkat topik Dinasti Jokowi dan Putusan MK. Acara yang dipandu Sebastian Salang ini juga menghadirkan praktisi hukum dari Advokat Perekat Nusantara, Petrus Selestinus sebagai pembicara.

Menurut Yansen, sebagai anak muda yang peduli demokrasi merasa prihatin dengan kondisi MK saat ini. Sebagian anak-anak muda yang kritis, menilai putusan MK Nomor 90 sama sekali tidak mewakili harapan anak muda. “Kami prihatin, putusan nomor 90 maka kami meminta Anwar Usman diberhentikan dengan tidak hormat sebagai hakim MK. Apalagi Majelis Kehormatan MK sudah menemukab bukti adanya pelanggaran etik,” katanya.

Saat ini, kata Yansen, banyak pihak yang tengah melakukan konsolidasi, untuk bersuara dan menuntut Anwar Usman segera mundur dari MK. Sebab keberadaan Anwar Usman dinilai sangat mengkhawatirkan independensi MK. “Kami akan melakukan aksi untuk menyuarakan pemecatan Anwar Usman” Tegas Yansen.

Sementara itu Petrus Selestinus, salah satu pihak yang melaporkan Anwar Usman ke MKMK mengungkapkan, banyak pihak yang tidak puas dengan putusan MKMK. MKMK hanya mencopot Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, tapi tidak memberhentikannya sebagai Hakim MK. Untuk itu Petrus Selestinus kembali melaporkan Anwar Usman, kali ini, ke Ombudsman. Alasanya, banyak terjadi mal administrasi dalam MKMK memutus perkara ini.

“Coba cermati, saat Ketua MK membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK, ia tidak menyiapkan pembentukan Majelis Kehormatan Banding. Padahal di Undang Undang telah diatur, bahwa sebelum MKMK membuat keputusan, harus dibentuk Majelis Kehormatan Banding, agar pihak pihak yang keberatan dengan putusan MKMK bisa mengajukan banding. Dalam catatan saya ada sejumlah peraturan MK belum diundangkan, karena tidak mencantumkan tanggal diundangkan dan dicatatkan dalam lembar negara. MK telah melanggar berbagai persoalan mendasar,” tegas Petrus.

Dengan pelanggaran pelanggaran yang dilakukan MK itu, menurut Petrus, semua putusan yang dihasilkan MK tidak sah. | Eka*

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60