Radarjakarta.id | JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 tercatat sebagai sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Hampir semua orang di Indonesia, termasuk yang tinggal di daerah terpencil, mengetahui bahwa pada masa itu terjadi penahanan dan pembunuhan massal.
Peristiwa G30S di Jakarta juga mengakibatkan kematian tujuh perwira TNI-AD. Enam diantaranya merupakan jenderal yang cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI yang dipimpin oleh Soekarno.
Satu orang perwira lainnya yaitu Kapten Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Selain itu, ada Bripka Karel Sadsuit Tubun, pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena juga tercatat sebagai korban dalam peristiwa G30S.
Jenazah para perwira tersebut ditemukan di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965. Jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Pembunuhan terhadap perwira TNI-AD juga terjadi di Yogyakarta, menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono. Jasad mereka ditemukan pada 12 Oktober 1965 di wilayah Kentungan, kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Yogyakarta.
Pemerintah RI kemudian memberikan gelar Pahlawan Revolusi dan memberikan kenaikan pangkat anumerta pada 10 tokoh tersebut. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Lantas siapa yang bertanggung jawab atas tragedi berdarah peristiwa G30S 1965? Sejarah kelam Indonesia mengenai G30S memiliki banyak misteri. Alhasil sejumlah teori bermunculan untuk menjawab pertanyaan terkait siapa di dalang di balik G30S 1965.
Macam-macam Teori dalang Gerakan 30 September
Dalam sejarah versi Orde Baru, PKI disebut sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa G30S. Namun, banyak penelitian menyebutkan bahwa pelaku peristiwa G30S bukan pihak tunggal, yang kemudian cenderung membantah versi Orde Baru.