Radarjakarta.id | JAKARTA – Dugaan Pemprov DKI beli lahan sendiri di Kalideres semakin terkuak, saksi ahli sebut ada dugaan tindak pidana. Menurut keterangan saksi ahli B.F Sihombing yang dihadirkan pihak penggugat, disebutkan ada dugaan pidana yang dilakukan Pemprov DKI lantaran membeli lagi lahan yang seharusnya merupakan pemberian dari pengembang untuk dijadikan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). B.F Sihombing menegaskan mengenai Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang menyatakan Pemprov DKI menggelontorkan ratusan miliar untuk mendapatkan lahan yang berada di Jalan Irigasi, Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat.
Padahal sebagai pengembang maka PT Tamara Green Garden berkewajiban memberikan sebagian lahannya kepada Pemprov DKI untuk dijadikan fasos dan fasum. “Jadi fasos/fasum itu tidak bisa diperjualbelikan seenaknya. Itu fasilitas umum untuk penghuni atau warga di daerah setempat. (Di kasus Kalideres) kalau dijual lagi itu sudah bertentangan dengan hukum. Ada dugaan pidana di sini. Karena itu sudah kewajiban developer tanpa membayar sepeserpun dan kepada siapapun. Harus diserahkan full ke Pemda DKI dalam hal ini biro aset,” ujar Sihombing di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (4/9/2023).
Dalam keterangannya di persidangan, B.F Sihombing pun menyarankan pihak penggugat maupun tergugat melaporkan dugaan pidana ini kepada pihak Kejaksaan. “Iya bisa (lapor Kejaksaan). Nanti Kejaksaan akan memploting lokasi tersebut, rekonstruksi melakukan pengukuran pengembalian batas. Diukur pengembalian batas ini berapa luas untuk fasos/fasum. Kalau dijual ya tangkap langsung di borgol,” paparnya.
Sementara itu, Madsanih Manong, Kuasa hukum Achmad Benny Mutiara selaku penggugat menyebut keterangan ahli yang dihadirkannya semakin menjelaskan bahwa memang ada cacat administrasi dan hukum terkait pembelian lahan tersebut.
Sebenarnya, dalam kasus ini, Madsanih hanya meminta kepada PT Tamara Green Garden untuk membayarkan ganti rugi terhadap kliennya atas sekitar 5.000 meter yang dicaplok dan diberikan kepada Pemprov DKI.
Padahal ia mengklaim kliennya memiliki sejumlah legalitas yang sah atas lahan tersebut. Pada tahun 2017, pihak Kelurahan Pegadungan juga telah mengeluarkan surat bahwa lahan tersebut masih bersengketa. Namun, pada tahun 2018 ternyata lahan tersebut telah diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta untuk fasos fasum.
Dan ternyata Pemprov DKI diduga membeli lagi lahan tersebut melalui proyek pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tahun 2018.
“Karena dari gugatan kita bahwa kita meminta agar proses pengadaan ini jual beli antara tergugat 1 antara Pemprov DKI dengan PT Tamara Green Garden dengan adanya lahan klien kami yang belum dibayar ini catat administrasi dan kami meminta agar hakim mengabulkan segera karena dianggap tidak memenuhi ketentuan,” ujar Madsanih.
Adapun adanya dugaan Pemprov membeli lahannya sendiri yang terungkap dalam persidangan, Madsanih menyebut hal itu sudah masuk ranah hukum yang berbeda. Dia pun meminta Pemprov DKI harus bertindak jika merasa dirinya juga adalah korban dalam kasus ini. “Satu sisi klien kita belum dibayar ganti rugi, di sisi lain ada satu permainan yang mengakibatkan kerugian Pemprov. Ya dalam hal ini Pemprov dirugikan karena Pemprov menggunakan uang negara dia harus segera melaporkan ini ke aparat berwenang. Jadi jangan diam, jangan pasif, seolah-olah merasa tidak bersalah,” kata Madsanih.
Madsanih menegaskan pihaknya sejatinya siap musyawarah dengan Pemprov DKI untuk sama-sama menyelesaikan konflik ini. Namun, dia menyebut tak pernah ada respons dari Pemprov DKI.
“Saya mau dipanggil oleh Pemprov untuk di klarifikasi. Sampai kini tidak. Akhirnya yudikatif atau pengadilan yang membuka ini. Kalau Pemprov DKI diam, ini kerugian negara ratusan miliar, kok diam. Sudahlah ini sudah jaman keterbukaan, saya berharap ke PJ Gubernur menyikat oknum-oknum ini segera memproses hukum,” ujar Madsanih.
Sementara itu, Tim Biro Hukum Pemprov DKI Mindo enggan berkomentar terkait jalannya persidangan. “Tadi sudah dengar sendirilah,” ujar Mindo kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. | Eka*