“Mereka hancurkan semuanya dalam hitungan detik,” kata Muhammad Saud sambil menangis, berdiri di atas tumpukan puing-puing.
Radarjakarta.id | INDIA – Muhammad Saud dan adik laki-lakinya, Nawab Sheikh, memandang sisa-sisa toko yang mereka kelola di sebuah kompleks perumahan di distrik Nuh, Negara Bagian Haryana, India utara. Saat dia berbicara pada Sabtu kemarin (05/08/2023), sebuah buldoser berwarna kuning menderu di belakangnya.
“Kami punya 15 toko yang dibangun di atas tanah keluarga. Kami punya semua dokumennya tapi mereka [polisi] berkeras bahwa bangunan-bangunan ini ilegal,” kata Saud.
Bangunan-bangunan milik dua bersaudara itu ada di antara ratusan toko dan rumah yang dihancurkan oleh aparat menyusul kekerasan komunal yang pecah pekan lalu di Nuh, sebuah distrik mayoritas Muslim yang juga merupakan salah satu distrik termiskin di kawasan ibu kota India (yang mencakup Delhi dan daerah-daerah sekitarnya).
Polisi mengatakan bentrokan antara kaum Hindu dan Muslim dimulai setelah pawai yang dipimpin oleh organisasi Hindu garis keras dilempari batu ketika melewati Nuh.
Seiring berita tentang itu menyebar, kekerasan juga pecah di Gurugram, tepat di luar Delhi. Sebanyak enam orang tewas di Nuh dan Gurugram setelah perusuh membakar sejumlah toko dan kendaraan, serta satu masjid.
Beberapa hari kemudian buldoser didatangkan ke kawasan permukiman penduduk Nuh guna merobohkan ratusan bangunan dengan alasan bangunan-bangunan itu dibangun secara ilegal. Hal ini sudah menjadi pola di banyak negara bagian yang diperintah oleh Partai Bharatiya Janata (BJP), yang beraliran Hindu nasionalis.
Tindakan tersebut baru berhenti setelah empat hari, pada hari Senin (07/08), ketika pengadilan tinggi negara bagian mengeluarkan pemberitahuan kepada pemerintah.
“Rupanya, tanpa perintah dan pemberitahuan pembongkaran, persoalan hukum dan ketertiban digunakan sebagai dalih untuk merobohkan bangunan tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh hukum,” kata pengadilan.
Pengadilan juga bertanya apakah negara bagian sedang melakukan “latihan pembersihan etnis” dengan menargetkan bangunan yang sebagian besar dimiliki oleh warga Muslim.
Kelompok masyarakat sipil dan partai oposisi mengatakan telah terjadi lonjakan kekerasan dan pidato kebencian terhadap kaum Muslim sejak 2014, ketika BJP yang beraliran Hindu nasionalis pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa.
Di negara-negara bagian yang diperintah BJP seperti Uttar Pradesh, Madhya Pradesh dan Assam, praktik penggunaan buldoser untuk menghancurkan rumah-rumah orang yang dituduh melakukan kejahatan sudah jadi hal biasa.
Alasan yang sering digunakan adalah kontruksi ilegal tetapi para ahli hukum mempertanyakan ini. Para menteri utama negara-negara bagian ini juga sering mengaitkan pembongkaran dengan sikap keras pemerintah mereka terhadap kejahatan.
Meskipun keluarga Hindu juga menjadi korban, para pemimpin oposisi dan beberapa aktivis mengatakan tindakan tersebut sebagian besar ditargetkan kepada kaum Muslim, terutama menyusul kekerasan atau aksi protes berbasis agama.
Di Nuh, para pejabat memberikan jawaban yang kontradiktif ketika ditanya tentang alasan pembongkaran.
Hakim Distrik Dhirendra Khadgata mengatakan kepada BBC Hindi bahwa hanya bangunan ilegal yang dihancurkan. Tetapi Vinesh Singh, petugas perencanaan untuk distrik tersebut, mengatakan bahwa pihak berwenang menghancurkan rumah-rumah yang dari situ “batu-batu telah dilempari”.
Para pengkritik mengatakan pembongkaran ini sangat brutal karena membuat anggota keluarga yang tidak bersalah, termasuk anak-anak, kehilangan tempat tinggal.
“Menghancurkan rumah atau toko seseorang secara sewenang-wenang adalah bentuk hukuman kolektif yang sangat kasar dan ketinggalan zaman,” kata pengamat politik, Asim Ali.
“Bahwa itu dilakukan di India kontemporer menunjukkan bahwa rezim supremasi hukum telah rusak.”
Para ahli hukum sepakat bahwa memberikan hukuman instan dan kolektif adalah ilegal dan tidak manusiawi.
“Bagaimana bisa negara memukul semua orang dan menganggap mereka satu komplotan, terlepas dari fakta, tanpa memastikan kebenaran dan melakukan pembongkaran?
Dalam situasi seperti ini, hukuman kolektif adalah anatema terhadap supremasi hukum dan hak-hak konstitusional, terlepas dari agama,” kata Hakim Madan Lokur, mantan hakim Mahkamah Agung.
Dia menyoroti bahwa menurut laporan media, “pemilik tidak diberi pemberitahuan atau waktu untuk mengeluarkan barang-barang dari rumah dan juga tidak diberikan waktu satu hari pun untuk menemukan akomodasi alternatif”.
Penghancuran infrastruktur sipil yang disengaja tidak diperbolehkan berdasarkan undang-undang apa pun, imbuh Shadan Farasat, seorang pengacara Mahkamah Agung.
“Kalau Anda ingin menuntut seseorang atas suatu tindak kekerasan, Anda harus menangkap mereka dan mengadili mereka – Anda tidak bisa begitu saja menghancurkan rumah mereka dalam sehari.”
Hakim Lokur mengatakan bahwa pihak berwenang memang memiliki kuasa untuk menghancurkan bangunan ilegal tetapi hanya sesuai dengan aturan. Pemilik harus diberi pemberitahuan dan kesempatan untuk membayar denda atau mengajukan banding.
Bahkan walaupun demikian, pihak berwenang punya pilihan untuk menghancurkan hanya bagian-bagian yang dibangun dengan melanggar hukum.
Bila struktur itu sepenuhnya ilegal, pihak berwenang harus memberikan penjelasan yang “masuk akal” kepada pemiliknya sebelum meratakannya dengan tahan.
“Seluruh kegiatan pembongkaran dilaporkan dilakukan secara sewenang-wenang dan sepenuhnya melanggar hak-hak konstitusional,” kata sang hakim.
Di Nuh, polisi mengatakan mereka memberikan pemberitahuan kepada para terduga perambah, tetapi beberapa keluarga mengatakan kepada BBC bahwa mereka tidak mendapatkan peringatan. Yang lain mengklaim bahwa mereka bahkan tidak berada di rumah mereka pada saat kerusuhan tetapi tetap dihukum.
Musaib, 20 tahun, tidak bisa berhenti menangis ketika menyaksikan pihak berwenang menghancurkan toko jajanannya yang baru berusia seminggu, yang dia bangun dengan tabungan ayahnya.
“Bagaimana saya membangun kehidupan lagi?” dia bertanya-tanya.
Pertanyaan itu juga ditanyakan oleh orang lain, termasuk umat Hindu.
Chamanlal, yang salon potong rambutnya hancur, mengatakan dia telah membangunnya dengan pinjaman.
“Keluarga yang terdiri dari 10 orang bisa hidup karena toko ini. Kami dipaksa untuk hidup di jalanan sekarang,” katanya.
Yang lain khawatir polarisasi komunal dapat menghancurkan perdamaian di Nuh, tempat umat Hindu dan Muslim telah sebagian besar dalam harmoni selama puluhan tahun.
Sementara pembongkaran telah berhenti untuk saat ini, beberapa warga Muslim mengatakan mereka tidak lagi merasa aman.
“Kami ditindas setiap hari. Ke mana kami akan pergi jika hal seperti ini terjadi lagi?” Kata Sheikh.
Tetapi tidak semua orang setuju bahwa pihak berwenang salah.
“Pemerintah melakukan hal yang benar, para perusuh ini harus diberi pelajaran,” kata Ashok Kumar, yang menemani teman-temannya menyaksikan pembongkaran.
Bahkan Harkesh Sharma, yang tempat pizza-nya dihancurkan, sepakat – dengan satu syarat. “Hanya saja, kalau pemerintah hanya menghukum mereka yang terlibat dalam kekerasan, itu akan lebih baik.” | Red*