Danial f lolo: Sritex, Akhir Raksasa Tekstil Indonesia

Danial f lolo: Sritex, Akhir Raksasa Tekstil Indonesia
Sritex, Akhir Raksasa Tekstil Indonesia: Dampak Krisis Keuangan yang Menghantam Industri Manufaktur
banner 468x60

RADAR JAKARTA | Jakarta – Setelah lebih dari satu dekade menikmati kesuksesan sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) secara resmi menutup operasionalnya pada 1 Maret 2025.

Keputusan ini menandai berakhirnya perjalanan panjang raksasa tekstil Indonesia yang pernah menjadi kebanggaan industri nasional. Penutupan ini menandai puncak dari krisis keuangan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, yang akhirnya berimbas pada ribuan pekerja, ekonomi lokal, serta sektor industri manufaktur di Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Berdasarkan data, Sritex yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, pernah menjadi pemasok utama bagi merek-merek internasional ternama seperti Zara, Uniqlo, dan H&M, bahkan juga menyediakan seragam militer untuk NATO dan Tentara Jerman.

Namun, sejak 2021, perusahaan ini mulai menghadapi masalah keuangan yang besar akibat utang yang menumpuk. Krisis semakin memburuk ketika pandemi COVID-19 melanda industri tekstil global, diperparah oleh gejolak geopolitik, termasuk perang Rusia-Ukraina, yang menyebabkan ekspor tekstil Indonesia anjlok.

Pada Mei 2021, Sritex memasuki status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) setelah digugat oleh krediturnya. Meskipun pemerintah berusaha menengahi dan melakukan restrukturisasi utang yang disetujui pada Januari 2022, perusahaan tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Keadaan semakin sulit ketika pendapatan perusahaan terus menurun, tak mampu menutupi biaya operasional dan utang yang semakin membengkak.

Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang memutuskan bahwa Sritex pailit, dan keputusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024.

Dengan total utang mencapai Rp29,8 triliun, Sritex tidak memiliki pilihan selain menghentikan operasionalnya.

Pada rapat kreditur yang diadakan pada 28 Februari 2025, diputuskan bahwa perusahaan tidak dapat melanjutkan operasionalnya, mengakibatkan PHK massal terhadap 10.665 karyawan dari pabrik-pabrik Sritex di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang.

Penutupan Sritex bukan hanya mencerminkan krisis internal perusahaan, tetapi juga memperlihatkan masalah yang lebih besar di sektor tekstil Indonesia.

Sektor ini sudah lama menghadapi tekanan akibat masuknya tekstil impor murah, terutama dari Tiongkok, yang mengakibatkan produk lokal kesulitan bersaing.

Ditambah dengan biaya produksi yang tinggi, regulasi yang kurang mendukung, serta cepatnya perubahan tren global, kondisi industri tekstil semakin memburuk.

Meskipun pemerintah telah memberikan berbagai insentif, seperti relaksasi pajak dan bea masuk untuk bahan baku tekstil serta dukungan modal kerja melalui bank-bank BUMN, upaya tersebut tidak cukup menyelamatkan Sritex.

Bahkan Presiden Prabowo Subianto sempat mengerahkan empat kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Investasi, untuk mencari solusi penyelamatan Sritex.

Salah satu opsi yang sempat dipertimbangkan adalah pencarian investor strategis, namun utang yang terlalu besar dan kondisi pasar yang kurang menarik membuat opsi ini gagal.

Kini setelah kepailitan Sritex diputuskan, tim kurator bertugas mengelola aset perusahaan untuk dilelang dan melunasi kewajiban kepada para kreditur, dengan prioritas utama pada hak-hak karyawan.

Kejatuhan Sritex menjadi peringatan bagi pemerintah dan dunia usaha bahwa kebijakan yang lebih melindungi sektor industri dalam negeri sangat diperlukan.

Pemerintah diharapkan untuk segera mengevaluasi kebijakan terkait industri tekstil nasional, dengan langkah-langkah yang bisa mencakup peningkatan tarif Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), insentif bagi produsen tekstil lokal, serta mendorong industri untuk beralih ke produksi bernilai tambah tinggi seperti tekstil teknis.

Peristiwa ini meninggalkan pelajaran penting: tanpa strategi bisnis yang kokoh, manajemen risiko yang baik, dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri, sektor manufaktur Indonesia akan terus menghadapi ancaman serupa.

Kejatuhan Sritex, yang pernah menjadi pahlawan industri tekstil Indonesia, harus menjadi refleksi bagi masa depan industri ini.

Sritex bukan hanya menutup pintu operasionalnya, namun juga membuka mata bagi pemerintah dan pelaku industri bahwa sektor manufaktur nasional, terutama tekstil, perlu kebijakan yang lebih mendalam dan perlindungan terhadap industri dalam negeri agar tidak tergerus oleh arus globalisasi.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60