Radarjakarta.id | JAKARTA – Hakim yang juga Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Djuyamto menyatakan hakim bisa menetapkan saksi sebagai tersangka korupsi. Hal itu menjadi salah satu kesimpulan disertasinya untuk mendapatkan gelar Doktor dari UNS Solo.
“Dasar rasionalitas dari pemberian kewenangan bagi hakim dalam menetapkan tersangka berbasis fakta pada tindak pidana korupsi,” kata Djuyamto.
Hal itu disampaikan dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Djuyamto SH MH di Aula Gedung 3 (Gedung Amiek Sumindriyatmi) UNS Solo, Jumat (31/1/2025). Djuyamto mempertahankan disertasinya dengan judul ‘Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif’.
Alasan pertama hakim bisa menjadikan tersangka korupsi karena tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Kedua, dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, tindakan yang diambil selama tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pasti akan memengaruhi operasi pengadilan. Sampai pada titik di mana ketidakprofesionalan dalam penyidikan dan penuntutan suatu kasus dapat menyebabkan lembaga peradilan tidak dapat mencapai keadilan substantif yang diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman,” beber Djuyamto yang pernah menyelesaikan S1 dan S2-nya juga dari UNS itu.
Sebagai hakim yang juga bertugas di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) itu, menurutnya saksi-saksi yang diperiksa di persidangan dan terlibat dalam kasus korupsi, harus dihukum.
“Hal ini juga dapat membantu mencegah penegakan tindak pidana korupsi yang tebang pilih. Baik karena ketidakprofesionalan penegak hukum atau karena ada indikasi bahwa pelaku tindak pidana korupsi dengan sengaja ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dan tidak dihadapkan ke pengadilan untuk diadili,” tegas Djuyamto yang pernah berdinas di PN Temanggung (2007-2009) itu.
Alasan ketiga, kejahatan korupsi dilakukan secara terorganisir (organized crime). Yang mana kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri. Sehingga sebagai hakim, Djuyamto mengaku hati nuraninya terusik, bila berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti, dan saksi-saksi dalam tersebut, meyakini terdapat tersangka baru.
“Hanya karena tersangka baru tersebut belum dihadapakan ke pengadilan melalui prosedur-prosedur hukum untuk diadili, hakim tidak dapat memberikan keputusan yang berkeadilan,” ucap Djuyamto yang mendapatkan gelar Kanjeng Raden Ario dari Keraton Kasunanan Surakarta itu.
“Tentu hal tersebut jauh dari kata keadilan substantif dalam perspektif kebebasan kekuasaan kehakiman, di mana hakim diminta menegakkan hukum berdasarkan keadilan,” sambung Djuyamto.
Disertasi itu diakui Djuyamto dilatarbelakangi putusan yang diambil dirinya saat mengadili kasus kehutanan di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat itu, Djuyamto menetapkan seorang saksi sebagai tersangka. Hal itu membuat kaget kejaksaan.
“Dan itu menjadi penetapan tersangka oleh hakim yang pertama di Indonesia,” kata Djuyamto dalam pengantarnya.
Disertasi Djuyamto itu dipertahankan di depan Guru Besar FH UNS Prof Dr Hartiwiningsih, Dr Sulistyanta, Dr Ismunarno, Ketua Muda MA bidang Pidana Dr Prim Pambudi dan Komjen Pol Prof Dr Rudy Heriyanto Adi. Khusus Prim Haryadi menguji secara online karena sedang di Arab Saudi. Selaku promotor yaitu Guru Besar UNS Prof Pujiyono Suwadi dan Dekan FH UNS Dr M Rustamaji selaku co promotor. Sidang dipimpin Dr Sasmini dan Sekretaris Dr Erna Dyah Kusumawati.
Para penguji cukup terkejut atas lompatan ide out of the box Djuyamto itu. Mereka mempertanyakan apakah gagasan tersebut tidak bertentangan dengan pemisahan kekuasaan yudikatif dan eksekutif (penyidik-penyelidik). Lalu bagaimana menguji penetapan tersangka itu. Yaitu apakah saksi yang dijadikan tersangka oleh hakim bisa mengajukan praperadilan agar penetapan tersangkanya itu digugurkan. Serta gagasan itu sebaiknya diatur di UU dengan merevisi KUHAP, Peraturan Presiden (PP) atau turunannya. Djuyamto menjawab berbagai pertanyaan itu dengan tuntas sehingga dinyatakan lulus ujian.
Sidang yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB itu berjalan cukup dinamis, mengalir dan alot. Meski demikian, tetap dibumbui dengan canda segar dari para penguji dan promotor.
“Saya doakan, nanti ada nama Djuyamto dalam daftar nama hakim agung kita,” kata Prof Pujiyono yang disambut gemuruh tepuk tangan undangan. Prof Pujiyono saat ini juga tercatat sebagai Ketua Komisi Kejaksaan RI itu.
Hadir menyaksikan sidang doktor itu di antaranya hakim agung Prof Yanto, hakim agung Lucas Prakoso, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta Setyawan Hartono, Ketua PN Jaksel M Arief Nuryanta serta Panitera Muda MA bidang Pidana Dr Minanoer Rachman. Tampak juga sejumlah teman program doktor UNS Djuyamto.
Atas perjuangan Djuyamto, akhirnya pria kelahiran Sukoharjo 18 Desember 1967 itu bisa menyandang gelar Doktor setelah 4 tahun berjuang menyelesaikannya. Apalagi, di tengah kesibukannya sebagai hakim di PN Jaksel dan humas, serta hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.|Eva