Radarjakarta.id | JAKARTA – Monumen Nasional, yang sering disingkat menjadi Monas, adalah salah satu landmark paling ikonik di Indonesia. Terletak di tengah-tengah ibu kota Jakarta, Monas berdiri sebagai simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Monas mulai dibangun pada bulan Agustus tahun 1959. Monas dibangun untuk mengenang semangat juang bangsa Indonesia dalam memperebutkan kemerdekaan.
Monas dirancang oleh arsitek-arsitek Indonesia, yaitu Soedarsono, Frederich Silaban, dan Ir. Rooseno. Monas diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1961, bertepatan dengan HUT Indonesia ke-16. Monas diresmikan oleh Presiden Sukarno dan mulai dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.
Lidah api menyala merupakan salah satu hal yang paling ikonik di Monas. Lidah api tersebut terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dengan tinggi 14 meter dan diameter 6 meter.
Lalu, lidah api tersebut ternyata terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Seluruh lidah api dilapisi lempengan emas dengan berat sekitar 38 kg. Ternyata, emas tersebut diberikan oleh seorang filantropi asal Aceh.filantropi Teuku Markam pada era Orde Lama
Teuku Markam juga ikut serta membebaskan lahan Senayan sebagai pusat olahraga terbesar di Indonesia. Teuku Markam sempat dikaitkan sebagai anggota kabinet bayangan Ir Soekarno. Tak mengherankan, namanya tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan perekonomian Indonesia di zaman Orde Lama.
Asal-usulnya Teuku Markam, Beliau merupakan keturunan uleebalang (bangsawan) di Aceh. Teuku Markam diperkirakan lahir pada tahun 1925. Pada usia remaja, Teuku Markam mulai mengikuti pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh) dan tamat dengan pangkat Letnan Satu. Kemudian, Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan mengikuti pertempuran Medan Area di Tembung, Sumatera Utara.
Setelah itu, Teuku Markam diutus ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Subroto. Lalu, Jenderal Gatot Subroto mengenalkan Teuku Markam ke Ir. Sukarno yang saat itu sedang mencari pengusaha pribumi yang dapat menangani permasalahan perekonomian di Indonesia.
Pada tahun 1957, Teuku Markam kembali ke kampung halamannya di Aceh saat ia sudah berpangkat kapten. Lalu, ia mendirikan PT Karkam. Teuku Markam sempat ditahan karena berseteru dengan Teuku Hamzah, Panglima Kodam Iskandar Muda.
Namun, ia dibebaskan pada tahun 1958 dan langsung kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan tersebut dipercaya oleh pemerintah Orde Lama untuk mengelola pampasan perang, pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material.
Teuku Markam memiliki sejumlah aset berupa kapal dan beberapa galangan kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Surabaya. Bisnis Teuku Markam pun semakin meluas, ia terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara, seperti menjadi pengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan serta Presiden Sukarno.
Hasil bisnis Teuku Markam, selain menjadi salah satu sumber APBN, ia juga berhasil mengumpulkan sebanyak 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak monas. Selain itu, kontribusi Teuku Markam untuk Indonesia lainnya adalah membebaskan lahan bagi proyek Istora Senayan, pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat, rekonstruksi jalan darat di pesisir Timur Aceh, dan lain-lain.
Teuku Markam termasuk salah seorang konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan orde lama dan sejumlah pejabat. Pada era pemerintahan Sukarno, nama Teuku Markam luar biasa fenomenal bahkan disebut-sebut sebagai ‘Kabinet Bayangan’ pemerintahan Orde Lama.
Namun, perannya semakin surut tatkala Pemerintah Orde Lama berkuasa. Di bawah Presiden Soeharto, Teuku Markam dituduh sebagai antek-antek PKI dan dipenjara selama delapan tahun. Seluruh kekayaannya diambil alih oleh Pemerintahan Orde Baru. Pada 1985, Teuku Markam meninggal dunia.***