Heboh! Pemilik Restoran di Tangsel Bongkar “Upeti” Rp 3 Juta/Bulan Demi Bertahan Hidup

banner 468x60

RADAR JAKARTA|Tangsel — Sebuah kisah mencengangkan datang dari dunia usaha kuliner di Tangerang Selatan! Seorang pemilik restoran akhirnya buka suara soal “pungutan liar terselubung” yang harus ia bayar sejak pertama kali membuka bisnisnya tahun 2020.

Tak tanggung-tanggung, pemilik restoran yang enggan disebutkan namanya itu mengaku harus menyerahkan Rp3 juta setiap bulan kepada kelompok masyarakat sekitar mulai dari ormas, karang taruna, RT, RW, hingga tokoh-tokoh lingkungan hanya demi bisa berjualan dengan aman!

> “Awalnya saya tolak. Tapi setelah itu restoran saya diganggu, didatangi orang mabuk, bahkan diancam mau ditutup. Saya sampai dipanggil ke kelurahan,” bebernya dalam wawancara eksklusif, Jumat (25/4).

Pungutan itu dibungkus rapi dengan istilah “kontribusi masyarakat”. Namun, faktanya, uang yang dipungut tidak disertai dengan laporan penggunaan yang jelas.

Setelah melalui tekanan luar biasa, akhirnya sang pengusaha terpaksa menyepakati “perjanjian damai” dengan dua syarat:

1. Tidak lagi menerima proposal permintaan sumbangan apapun.

2. Semua masalah sosial harus diurus oleh kelompok penarik iuran.

“Kalau saya sudah bayar tiap bulan, saya nggak mau ada gangguan. Kalau ada masalah, mereka yang harus beresin,” tegasnya.

Hampir lima tahun berlalu, restoran itu telah menyetor sekitar Rp180 juta ke tangan kelompok tersebut. Uang itu, menurut pengakuannya, dibagikan entah ke mana tanpa kejelasan.

Meski hidup di bawah tekanan pungutan, pemilik restoran itu memilih bertahan daripada “meminta bantuan” ke pihak luar.

“Banyak yang saranin saya minta backup polisi atau tentara. Tapi ya sama saja, akhirnya tetap harus bayar. Mending saya hadapi sendiri,” ungkapnya dengan getir.

Kini ia berharap dunia usaha di Indonesia bisa berubah. Bukan lagi melalui intimidasi dan setoran ilegal, melainkan kolaborasi profesional yang sehat.

“Kalau warga mau berkontribusi, kenapa nggak jadi pemasok bahan makanan atau tenaga kerja? Jangan cuma minta-minta duit!”

Kisah nyata ini membuka mata tentang praktik premanisme halus yang ternyata masih menghantui dunia usaha di banyak daerah.
Pertanyaannya sekarang: Sampai kapan pelaku usaha harus “membayar damai” untuk bisa bertahan hidup?

Pihak berwenang, ayo buka mata!***

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60