RADAR JAKARTA|Jakarta – Warga Apartemen Gading Nias Residence (GNR) menolak kebijakan tarif baru yang ditetapkan oleh Badan Pengelola (BP) dan mempertanyakan dasar hukum sanksi yang dikenakan bagi yang tidak membayar sesuai tarif tersebut.
Pada 1 Maret 2025, warga GNR menggelar aksi protes terhadap kebijakan BP yang mengumumkan sanksi berupa penonaktifan kartu akses atau denda bagi penghuni yang tidak melunasi tagihan dengan tarif baru. Warga menilai keputusan ini bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya dan mengabaikan hasil mediasi yang dilakukan.
Tarif Baru Picu Konflik
Dalam pemberitahuan yang dikeluarkan BP, seluruh penghuni diwajibkan membayar iuran dengan tarif baru paling lambat 15 Maret 2025. Jika tidak, mereka akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku di GNR. Namun, menurut Harry Indra, salah satu warga GNR, kebijakan tersebut bertentangan dengan berita acara hasil mediasi pada 12 Februari 2025 yang menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan mengenai tarif baru dan bahwa masalah ini harus diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Dalam berita acara, disebutkan bahwa penyelesaian harus mengacu pada Pasal 102A, 102B, dan 102C dari Peraturan Gubernur No. 70 Tahun 2021. Namun, BP tetap memberlakukan tarif baru dan mengancam penghuni dengan sanksi,” ujar Harry kepada media.
Dasar Hukum Dipertanyakan
Berdasarkan penelusuran warga, dasar hukum yang digunakan BP dalam menetapkan sanksi adalah House of Rule Gading Nias Residences, yang merujuk pada Pergub No. 132 Tahun 2018. Namun, terdapat regulasi yang lebih baru, yakni Pergub No. 133 Tahun 2019 dan Pergub No. 70 Tahun 2021, yang menurut warga seharusnya menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, warga menyoroti beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan BP dan PPPSRS, termasuk:
1. Penyelenggaraan Rapat Umum Tahunan (RUTA) pada 25 September 2024 yang dianggap tidak sah.
2. Penetapan tarif IPL baru yang tidak mengikuti tahun buku perhimpunan.
3. Ketidaksesuaian dalam laporan pengelolaan dana IPL tahun 2023.
4. Keabsahan Ketua PPPSRS yang tidak berdomisili di Gading Nias Residence.
Langkah Warga: Laporan ke Sudin PRKP
Warga berencana melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Suku Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Sudin PRKP) Jakarta Utara. Mereka menuntut tindakan tegas sesuai Pasal 102C Ayat 6 Pergub No. 70 Tahun 2021, yang memungkinkan pencabutan Surat Keputusan (SK) bagi pengurus dan pengawas PPPSRS serta pencabutan izin usaha BP.
“Kami akan menyurati Sudin PRKP untuk melaporkan dugaan pelanggaran dalam kesepakatan mediasi pada 10 Desember 2024 dan 12 Februari 2025,” tambah Harry Indra.
Sorotan terhadap Peran Customer Service BP
Selain kebijakan tarif, warga juga menyoroti peran Customer Service (CS) Badan Pengelola yang dinilai hanya meneruskan perintah atasan tanpa memberikan penjelasan yang mengacu pada dokumen dan peraturan perundang-undangan. Menurut warga, CS seharusnya memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai regulasi rumah susun agar dapat memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada pemilik serta penghuni.
Hasil Mediasi: Kesepakatan Tidak Dihormati
Sebelumnya, warga GNR dan PPPSRS telah mengadakan mediasi yang difasilitasi oleh Sudin PRKP Jakarta Utara, Disperum DKI Jakarta, anggota DPRD Komisi E Agustina Hermanto, serta perwakilan kecamatan dan kelurahan di Gedung Walikota Jakarta Utara pada 10 Desember 2024 dan 12 Februari 2025.
Dalam pertemuan tersebut, mediasi berakhir dengan kebuntuan (deadlock). Disepakati bahwa tarif yang berlaku tetap menggunakan tarif lama, serta PPPSRS tidak boleh membatasi akses atau memutus fasilitas dasar bagi warga. Selain itu, tagihan IPL+SF serta listrik dan air harus ditagihkan secara terpisah per bulan.
Namun, BP tetap menerapkan kebijakan baru yang bertentangan dengan hasil mediasi, sehingga warga meminta pemerintah turun tangan untuk menindaklanjuti permasalahan ini.
Harapan Warga: Transparansi dan Kepastian Hukum
Warga GNR berharap pemerintah bertindak tegas dalam menyelesaikan konflik ini dan memastikan bahwa kebijakan pengelolaan rumah susun berjalan sesuai regulasi yang berlaku. Mereka menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana IPL dan perlindungan hak penghuni agar tidak terbebani dengan tarif yang tidak sesuai aturan.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat dalam pengelolaan apartemen, serta perlunya kepastian hukum bagi pemilik dan penghuni dalam menghadapi kebijakan yang dinilai merugikan.***