DPR Bisa Copot Hakim MK, Panglima TNI, dan Kapolri, Pakar: Ini Intervensi Politik

banner 468x60

Radar Jakarta | JAKARTA  – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini memiliki kewenangan untuk mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian sejumlah pejabat negara, termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA), Kapolri, Panglima TNI, hingga duta besar. Ketentuan ini tertuang dalam revisi Tata Tertib (Tatib) DPR yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

Revisi ini menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan prinsip konstitusional. Mantan Menteri Agama yang juga anggota Gerakan Nurani Bangsa, Lukman Hakim Saifuddin, menegaskan bahwa DPR, MK, MA, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang setara dan mandiri. “Yang satu bukanlah subordinasi dari lainnya,” ujarnya, Kamis (5/2/2025).

Revisi ini tertuang dalam Pasal 228A Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah ditetapkan melalui rapat paripurna. Evaluasi ini bertujuan menjaga marwah dan kehormatan DPR atas hasil pembahasan komisi.

Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa DPR tidak hanya memiliki wewenang merekomendasikan pengangkatan pejabat melalui fit and proper test, tetapi juga mengevaluasi kinerjanya, termasuk memberikan rekomendasi pemberhentian. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan lembaga terkait.

“Evaluasi kinerja dilakukan agar DPR tidak lepas tangan setelah memberikan rekomendasi. DPR sebagai representasi rakyat berwenang melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif,” ujar Bob.

Kritik Keras dari Pakar Hukum

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai revisi aturan ini berpotensi menjadi alat politik bagi DPR untuk menekan lembaga negara tertentu, terutama MK. “Ini merupakan cara permainan politik yang tidak sehat dan salah satu bentuk intervensi terhadap lembaga independen,” kata Feri, Kamis (6/2/2025).

Feri juga menilai bahwa DPR telah melampaui kewenangannya. Menurutnya, mengoreksi lembaga negara lain hingga memberhentikan pejabatnya bukanlah tugas DPR. “DPR sudah terlalu jauh mencampuri urusan kekuasaan lembaga lain,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyebut revisi ini sebagai tindakan yang menunjukkan ketidaktahuan DPR terhadap peraturan perundang-undangan. “Seharusnya, Tata Tertib DPR lebih fokus pada urusan internal, bukan menjadi alat untuk mengintervensi lembaga lain,” tandasnya.

Pasal 228A yang telah direvisi juga mengatur bahwa hasil evaluasi DPR bersifat mengikat dan harus disampaikan oleh komisi terkait kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.

Dengan berbagai kritik yang muncul, revisi ini berpotensi menimbulkan polemik lebih lanjut di ranah politik dan hukum nasional.***

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60