Menolak Lupa: Mengenang Peristiwa 27 Juli 1996

banner 468x60

Antonius Benny Susetyo Budayawan

Radarjakarta.id | JAKARTA – Peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta bukan sekadar kenangan pahit dalam sejarah politik Indonesia. Ini adalah simbol dari luka mendalam yang masih dirasakan oleh banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban atau keluarga korban dari kekerasan yang terjadi.

Pada hari itu, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melakukan serangan terhadap kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang diduduki oleh pendukung Megawati Soekarnoputri, pemimpin partai yang baru saja digulingkan.

Serangan ini bukan hanya merupakan tindakan brutal terhadap warga sipil yang tidak bersenjata, tetapi juga mencerminkan betapa kekuasaan saat itu telah menjadikan hukum sebagai alat untuk menindas lawan politik. Tidak berhenti di situ, peristiwa ini memicu kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah di Jakarta, terutama di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Kendaraan dan gedung terbakar, dan kekacauan merajalela selama dua hari.

Peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pengingat betapa kita sering kali lupa akan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi. Pembiaran terhadap peristiwa itu menunjukkan betapa hukum saat itu telah mengalami imunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya melukai sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi juga menghancurkan martabat manusia. Ketika otoritas politik dan kekuasaan mereduksi harkat dan martabat manusia, maka manusia kehilangan nilai dirinya.

Pancasila seharusnya menjadi dasar dalam cara berpikir dan bertindak, terutama dalam hal menghormati hak asasi manusia.

Jika Pancasila dikembalikan kepada etika hidup berbangsa dan bernegara, maka pelanggaran terhadap martabat manusia harus selalu diingat dan dituntaskan. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan terus terjadi dengan membiarkan hukum mengalami imunitas. Hukum harus berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan, bukan kepada kepentingan kekuasaan semata. Seorang filsuf besar, Walter Benjamin, pernah mengatakan bahwa ketika persoalan menyangkut kemanusiaan, seorang pemimpin harus bisa mengambil tindakan yang luar biasa.

Pemimpin harus mengatasi kepentingan politik sesaat dan berani mengambil tindakan yang tidak populer demi memperjuangkan kemanusiaan. Namun, kenyataannya sering kali politik justru menginjak-injak kemanusiaan karena tidak lagi berdasarkan suara hati nurani. Ketika politik tanpa hati nurani, maka politik itu menjadi buas dan merusak martabat kemanusiaan.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60