Radarjakarta.id | JAKARTA — Pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat haruslah ada dalam kepentingan terbangunnya kondusivitas baik secara material maupun moral kesempatan.
“Apa pun jenis rumah hiburan yang berpola usaha atau dibisniskan, haruslah begitu, sehingga tidak ada keterkaitan satu sama lain,” kata pemerhati budaya, Suryadi, M.Si kepada media di Jakarta, Selasa (25/7/23).
Ia secara umum mengatakan hal itu ketika dimintai tanggapannya terkait adanya rumah hiburan karaoke yang beroperasi di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten, khususnya di wilayah Kecamatan Cisoka.
Jika kita amati dengan saksama, tentu sedikitnya ada tiga komponen utama. Pertama, Pemerintah Daerah (Pemda) yang bertindak selaku eksekutor dari Perda yang dihasilkan oleh DPRD setempat.
Kedua, pengusaha yang membuka usaha, dalam hal ini adalah rumah hiburan yang dijadikan ajang usaha.
Ketiga, rakyat atau masyarakat setempat pemilik daulat atas eksisnya kehidupan sosial dan budaya setempat.
Ketiganya, lanjut Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu harus bersatu dalam satu kesatuan kepentingan untuk kemajuan daerah.
Peraturan yang baik itu adalah peraturan yang dapat diterima oleh kondisi sosial budaya setempat, tukasnya.
“Jadi bukan masing-masing, yang satu bicara pendapatan daerah, satunya lagi bagaimana usahanya laku dan berjalan lancar, dan satunya bertindak seolah-olah atas nama kebaikan. Ini tidak ketemu, yang ada malah perbenturan,” urai Suryadi.
Maka, lanjutnya, Perda yang baik adalah Perda yang kental mengakomodasi kelokalan, kondisi sosial budaya setempat.
Di lain sisi si pengusaha taat akan aturan tersebut, sehingga masyarakat setempat benar-benar tidak terusik kehidupan sosial budayanya.
Penting juga semua komponen menyaring secara dini tentang kemungkinan adanya perubahan sosial, sehingga penetrasi budaya asing yang tak menguntungkan bagi budaya setempat, bisa tersaring efektif.
Dengan demikian, lanjutnya, semua bisa menerima dan struktur sosial yang ada berjalan sesuai fungsi-fungsinya, bukan malah sebaliknya destruktif.
Misalnya, lanjut Suryadi, ada pengunjung yang datang tidak sesuai dengan aturan, melanggar tata kesopanan dan “rawan fitnah”, pihak pengusaha cepat bertindak tegas dengan asas selektif.
Hal-hal yang merugikan kelangsungan kehidupan sosial budaya, seperti CSR, tidak akan mampu mengatasi persoalan semacam ini bila tujuannya cuma “menina-bobokkan” sebagian kecil orang.
Bentuk-bentuk CSR yang bersifat material, lanjutnya, mungkin bisa dialihkan ke dalam akomodasi-akomodasi yang mendukung budaya setempat.
“Mengapa nggak dicoba, ada rumah hiburan yang menyajikan kelokalan atau setidaknya dua kali sepekan di tempat tersebut diadakan pergelaran budaya setempat yang melibatkan budayawan atau masyarakat terkait. Belum ada kan yg gini ini,” tanya Suryadi.
Dengan demikian diharapkan, semua komponen terlibat konkret dalam akomodasi-akomodasi melanggengkan budaya setempat, bukan sebaliknya.
(Eva)*