Radarjakarta.id | Medan — Istana Maimun yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Medan, menyimpan banyak kisah bersejarah. Salah satunya adalah meriam puntung yang menjadi saksi lahirnya kerajaan Islam, Kesultanan Deli di Medan.
Istana Maimun berjarak kurang lebih 650 meter dari Masjid Raya Al Mashun Medan. Dengan jarak yang dekat itu, sampai sekarang masih ada wisatawan yang mengunjungi Istana Maimun.
Salah seorang pemandu wisata bernama Syarida mengaku meriam puntung adalah peninggalan perang antara Kerajaan Haru dan Kerajaan Aceh, yang pecah pada tahun 1612 M di Deli Tua (Sumatera Utara).
“Dulu kerajaan yang lebih awal, namanya Kerajaan Haru. Letaknya di Deli Tua. Memiliki dua pria dan wanita, namanya Putri Hijau,”
Sultan Aceh hendak mempersunting Putri Hijau. Namun, ia menolak permintaan itu.
“Karena berbagai hal menolak, diserang Aceh kerajaan putri,” ungkapnya.
Peperangan antara kedua kerajaan ini terjadi di Deli Tua. Dalam peperangan itu, kerajaan putri mengalami kekalahan.
“Bersumpahlah adik putri yang bungsu, seorang pangeran namanya Sri Paduka Mambang Khayali atau Mambang Sakti. Dengan kesaktiannya menyatulah sukma atau kekuatannya ke meriam ini. Ditembakanlah meriam ini ke pasukan Aceh yang menyerang,” ucap Syarida.
“Tembak terus menerus akhirnya panas, merah, patah, puntung, patahannya terpental ke dataran tinggi Suka Nalu, Kabupaten, Karo,” sambungnya.
Patahan meriam yang berada di Kabupaten Karo, hingga kini juga masih bisa ditemukan.
“Di sana dibuat juga rumah seperti ini, rumah Karo. Bedanya kalau di sini kelambunya kuning atau hijau ciri khas Melayu, kalau di sana warna putih,” cetusnya.
Singkat cerita, Kerajaan Haru kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Aceh.
“Dibawa si Putri, namun minta tiga syarat, yaitu bertih, telur, dan kerenda kaca, dapatlah terpenuhi syarat dibawalah Putri Hijau ini pergi,” ujarnya.
Sesampainya di perairan Aceh Utara, kata Syarida, ditebarkan syarat bertih dan telur tadi ke laut.
“Datanglah si Naga, abangnya yang sulung, di situ diambil si Putri Hijau, maka hilang Putri Hijau di laut Aceh sana,” ungkapnya.
Setelah Kerajaan Haru takluk, panglima perang Sultan Aceh bernama Gocah Pahlawan mendirikan kerajaan yang menjadi cikal bakal, Kesultanan Deli.
Akhirnya meriam bekas peperangan dibawa dan menjadi kenang-kenangan perang sekaligus penghormatan.
“Mengapa dia (Meriam Puntung) di sini setelah berdiri Istana Kesultanan Deli, dari tempat perang di Deli Tua dipindahkan kemari. Yang menaklukkan ini Panglima perang Sultan Aceh namanya Gocah Pahlawan, beliau inilah cikal bakal sultan Deli yang pertama,” cetusnya.
Tidak ada perawatan khusus terhadap meriam ini, hanya saja tiap 1 Muharram tahun baru Islam, meriam dimandikan dan diberi minyak.
“Ini dulu gak ada rumahnya di depan sana terletak hingga akhirnya dirumahkan,” katanya.
Setelah dirumahkan, meriam puntung pernah berpindah sendiri pada tahun 1995 silam.
“Bergeser sejauh 2 meter, semua pintu terkunci, itu kan berat gotongnya ramai-ramai untuk memasukkannya lagi ke dalam rumahnya,” katanya.
(Doel)