PALEMBANG, Radarjakarta.id – Kasus siswi SD di Palembang yang pulang sekolah dengan kedua mata lebam dan sempat dituding sebagai korban kekerasan guru akhirnya terungkap. Hasil pemeriksaan medis menyebutkan lebam di mata bocah berinisial F (7) itu bukan karena pukulan, melainkan akibat infeksi virus dan batuk pertusis (batuk rejan) yang dideritanya.
Awalnya, orang tua korban, Sukrisnawati alias Erna, melapor ke polisi karena curiga anaknya dipukul guru wanita di SDN 150 Gandus. Ia panik saat menjemput anaknya dalam kondisi mata merah dan kornea tampak berdarah. Laporan itu langsung ditindaklanjuti Polrestabes Palembang melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Kasus ini cepat viral di media sosial. Ribuan warganet mengecam dugaan kekerasan terhadap murid SD, hingga membuat Wali Kota Palembang Ratu Dewa turun langsung ke sekolah dan rumah korban. Ia memastikan biaya pengobatan ditanggung Pemkot Palembang sembari meminta penjelasan pihak sekolah.
Namun, hasil pemeriksaan Dinas Pendidikan dan keterangan guru di sekolah menyebut tak ada kekerasan terjadi di kelas. Dokter spesialis mata dr. Riani Erna, SpMK dari RS Fatimah menjelaskan, kondisi kedua mata F justru mengarah pada peradangan akibat infeksi virus, bukan trauma fisik.
Temuan itu diperkuat data dari Puskesmas Gandus, yang sebelumnya memeriksa F pada 27 Oktober 2025. Saat itu, F diketahui mengalami demam, batuk berat, dan bintik merah pada mata. Dokter menyimpulkan gejalanya mengarah pada batuk pertusis, penyakit pernapasan yang dapat memicu tekanan pada pembuluh darah mata hingga tampak lebam.
Kepala Dinas Pendidikan Palembang, Afan Prapanca, menyebut seluruh guru dan siswa sudah dimintai keterangan, dan tidak ada yang melihat pemukulan di sekolah. “Kami menunggu hasil medis resmi agar tidak ada kesimpulan yang salah,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolrestabes Palembang Kombes Harryo Sugihhartono memastikan penyelidikan tetap berjalan untuk menguji semua temuan medis. “Hasil visum akan menjadi dasar memastikan penyebab lebam pada korban,” tegasnya. Kasus ini menjadi pengingat agar publik berhati-hati dalam menyebar dugaan sebelum fakta medis terungkap.












