JAKARTA BARAT, Radarjakarta.id — Di balik rutinitas keras pengaturan kendaraan, ada kisah ketulusan yang memukul nurani: setiap Jumat siang, puluhan juru parkir di pusat swalayan kalideres, Jakarta Barat ini meluangkan waktu membagi–bagikan nasi kotak kepada pemulung, pengemis, pedagang keliling dan warga pejalan kaki yang kebetulan melintas dan memang membutuhkan.
Antara suara klakson mobil, deru motor, dan hiruk-pikuk gerai swalayan, terlihat sosok-sosok sederhana: seorang bapak pemulung, ibu tua yang membawa karung plastik, seorang anak kecil yang menarik-narik tangan orang tua semuanya datang menghampiri para juru parkir. Sekotak nasi disodorkan dengan senyum dan lirih ucapan, “Silakan, Pak / Bu …”

Aksi ini bukan perdana atau spontan. Mereka sudah menjalankannya secara rutin selama 2 tahun mengingat Jumat sebagai hari berkah. Oleh mereka, berbagi dan bersedekah tidak harus menunggu kaya. Menurut mereka, memberi kepada yang patut bukan beban, melainkan kewajiban hati.
“Tidak ada sejarah bahwa bersedekah akan membuat kita jatuh miskin,” ujar Adul seorang koordinator juru parkir Hari-Hari Swalayan, kepada RadarJakarta dalam kesempatan wawancara. Kata-kata itu seperti pedang, memotong keraguan bahwa sedekah hanya untuk orang berkecukupan.
Ketika RadarJakarta menyapa, Adul tampak mengenakan jaket parkir lusuh, pipi sedikit berkeringat, namun mata bersinar penuh tekad. Ia tak segan menyebutya sebagai “program hati”, bukan sekadar kegiatan publisitas. “Kalau kita, bersedekah itu bagian dari profesi kita juga menjadi pelita kecil di tengah kesibukan,” katanya.
Reaksi Publik & Potensi Viral
Sejak laporan ini dirilis ke platform media sosial, netizen bereaksi keras: dari tanda jempol, air mata emoji, hingga seruan agar aksi ini ditularkan ke swalayan lain. Banyak yang menyebut bahwa foto-foto sederhana juru parkir membungkuk memberi nasi kotak itu lebih menggetarkan dibanding liputan politik paling bombastis.
Beberapa warganet menuliskan:
“Baru kali ini saya nangis lihat foto tukang parkir memberi nasi kotak. Layak viral.”
“Kenapa para pejabat belum banyak yang begini? Luar biasa jukir kecil ini!”

Media lokal juga mulai mengangkat cerita ini sebagai “human interest” unggulan terutama di sektor berita moral, sosial, dan inspiratif. Jika momentum ini terus dijaga, bukan tidak mungkin “Aksi Jumat Berkah Jukir” akan menjadi tren yang diikuti berbagai kota.
Adul menyatakan bahwa semua nasi kotak berasal dari sumbangan sukarela antar jukir sendiri kadang dibantu oleh pelanggan swalayan yang tergerak hati dan tanpa embel-embel iklan. “Kalau ada sponsor pun, akan disampaikan transparan. Tapi inti kami tetap: memberi, bukan show,” katanya.***












