RADAR JAKARTA|Jakarta – Dalam rangka memperingati 27 tahun gerakan Reformasi 1998, Perkumpulan GERAK Jakarta menggelar pernyataan sikap tegas terhadap berbagai persoalan demokrasi dan keadilan sosial yang dinilai kian memudar. Dengan tema “Meneguhkan Kembali Semangat Reformasi: Melawan Kemunduran Demokrasi dan Ketimpangan Sosial”, GERAK mengajak publik untuk tidak melupakan esensi perjuangan Reformasi dan kembali merebut ruang-ruang demokrasi dari cengkeraman oligarki.
Dhini Mudiani, Ketua Umum GERAK Jakarta, menegaskan bahwa Reformasi bukan sekadar catatan sejarah, melainkan amanat yang harus terus diperjuangkan.
“Reformasi 1998 menuntut keadilan, penghapusan KKN, supremasi sipil, dan perlindungan hak-hak rakyat. Namun kini, demokrasi diperdagangkan, kekuasaan dikonsolidasikan, dan rakyat ditinggalkan. Ini bukan stagnasi—ini kemunduran,” tegasnya.
Krisis Demokrasi dan Keadilan Sosial
GERAK menyoroti sejumlah fenomena yang dianggap sebagai indikasi nyata dari kemunduran demokrasi:
Pelemahan KPK yang membuat pemberantasan korupsi tak bertaji.
Politik dinasti dan dominasi oligarki dalam proses elektoral.
Represi terhadap aktivis, pembela HAM, dan gerakan rakyat.
Komersialisasi pendidikan dan layanan dasar yang mempersempit akses masyarakat miskin.
Konflik agraria dan perampasan ruang hidup yang terus meningkat.
“Ketika suara rakyat dibungkam, aktivis dibungkus pasal karet, dan kekayaan alam dikuasai segelintir elite, maka jelas: ini bukan jalan Reformasi. Ini jalan pengkhianatan,” ujar Dhini dengan nada geram.
Seruan Aksi dan Persatuan Sipil
Dalam momentum refleksi ini, GERAK Jakarta mengajak seluruh elemen masyarakat sipil—kaum muda, buruh, petani, perempuan, dan mahasiswa—untuk tidak tinggal diam. Seruan mereka jelas:
1. Bersatu melawan kemunduran demokrasi dan pelemahan lembaga publik.
2. Menuntut akuntabilitas negara dan keadilan sosial untuk semua warga.
3. Menghentikan permainan oligarki terhadap demokrasi.
4. Mendorong agenda reformasi di sektor keuangan, lingkungan hidup, dan pelayanan publik.
“Reformasi bukan selesai, bukan pula usai. Ia hidup dalam setiap suara yang menuntut keadilan, dalam setiap aksi yang menolak ketimpangan,” tambah Dhini.
“Dari jalanan kami lahir, di jalan perjuangan kami bertahan. Reformasi adalah nyala, bukan kenangan. GERAK tetap berdiri di sisi rakyat.”
Berikut beberapa tanggapan netizen terhadap kemunduran demokrasi :
1. @rakyatbiasa:
“Dulu kami turun ke jalan demi kebebasan berpendapat. Sekarang, berpendapat saja bisa dipenjara. Ini demokrasi model apa?”
2. @pemudacemas:
“Dari reformasi ke represi. Apa gunanya pemilu kalau cuma jadi panggung untuk dinasti politik dan oligarki?”
3. @mahasiswabergerak:
“Kami kuliah bayar mahal, tapi suara kami dibungkam. Demokrasi tanpa kritik itu cuma ilusi.”
4. @petanikelaparan:
“Tanah kami dirampas, kami dianggap pengganggu pembangunan. Demokrasi tidak hidup di sawah kami.”
5. @aktivisjalanan:
“Reformasi katanya sukses, tapi KPK dibonsai, rakyat dibungkam, dan keadilan dikomersialkan. Kami tidak lupa.”
6. @suaraemak:
“Harga mahal, pendidikan susah, anak susah kerja. Tapi pejabat makin kaya. Demokrasi ini milik siapa?”
7. @warganetpeduli:
“Bersuara disebut hoaks, diam dianggap setuju. Hidup dalam demokrasi rasa otoriter. Ini saatnya bangkit lagi.”
(*)