Oleh: Rioberto Sidauruk
Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan / Peneliti Industri Strategis
JAKARTA — Dalam menghadapi ancaman krisis global dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia bersiap melakukan langkah bersejarah: menyatukan tiga pilar utama sistem pangan nasional ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan dalam satu sistem terintegrasi. Tujuannya jelas: mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri soal pangan.
Dengan alokasi anggaran fantastis Rp139,4 triliun untuk tahun 2025, pemerintah menunjukkan komitmen penuh dalam mendukung program swasembada pangan. Namun, dana jumbo ini bukan jaminan keberhasilan yang dibutuhkan adalah penyatuan visi, reformasi regulasi, dan koordinasi lintas sektor yang solid.
“Kita tidak bisa lagi hanya reaktif. Sistem pangan nasional harus dibangun dari akar, terstruktur, dan sepenuhnya berpihak pada rakyat,” tegas Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan.
Tiga Pilar Pangan: Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan
1. Ketahanan Pangan: Menjamin ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, dan terjangkau untuk seluruh rakyat. Tapi bukan dengan mengandalkan impor ketahanan sejati lahir dari kekuatan dalam negeri.
2. Kemandirian Pangan: Mengurangi ketergantungan pada luar negeri dengan mengandalkan produksi lokal. Indonesia masih terlalu bergantung pada impor gandum, kedelai, jagung, dan gula, situasi yang mengancam keberlanjutan.
3. Kedaulatan Pangan: Hak penuh Indonesia untuk menentukan arah kebijakan pangan tanpa campur tangan asing. Ini menyangkut perlindungan benih lokal, warisan pangan tradisional, dan pemberdayaan petani sebagai garda depan kedaulatan pangan.
“Tanpa unifikasi ketiga pilar ini, kita hanya akan berputar-putar dalam krisis pangan yang tak kunjung selesai,” tegas Sarwo Edhy, Plt. Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (NFA).
Masalah Besar: Regulasi Ketinggalan Zaman & Petani yang Terpinggirkan
Kendala utama dalam membangun sistem pangan nasional yang tangguh justru datang dari dalam: UU yang belum berpihak penuh pada petani dan industri lokal.
UU No. 18/2012 tentang Pangan perlu direvisi: harus ada pembatasan impor strategis dan perlindungan nyata untuk produk pangan lokal.
UU No. 3/2014 tentang Perindustrian butuh klausul khusus: mendorong hilirisasi pangan berbasis pertanian rakyat.
UU No. 19/2013 tentang Petani harus diimplementasikan lebih progresif: dorong kemitraan adil antara industri dan petani, bukan relasi timpang.
Evaluasi UU Cipta Kerja juga mutlak, agar tidak menghapus peran negara dalam melindungi pangan rakyat.
Tanpa perubahan regulasi yang radikal dan konsisten, unifikasi pangan hanya jadi slogan kosong.
Langkah Nyata yang Diperlukan Sekarang Juga
1. Bangun ekosistem pangan nasional: hilangkan ego sektoral antar lembaga, satukan visi lintas kementerian.
2. Prioritaskan agroindustri lokal: jadikan petani sebagai mitra strategis, bukan sekadar objek kebijakan.
3. Dorong hilirisasi dan inovasi teknologi pangan: produk lokal harus punya nilai tambah dan daya saing ekspor.
4. Ciptakan regulasi holistik dari hulu ke hilir: semua sektor pertanian, industri, perdagangan harus satu suara dalam satu sistem pangan berkelanjutan.
Momen Penentuan: Indonesia Menuju Swasembada Pangan atau Tetap Jadi Korban Pasar Global?
Keputusan ada di tangan bangsa ini: terus bergantung pada pasar global, atau bangkit sebagai bangsa berdaulat yang menentukan nasib pangannya sendiri.
Unifikasi tiga pilar pangan adalah jalan menuju kemerdekaan pangan sejati. Bukan sekadar kebijakan teknis, tapi strategi jangka panjang untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia di masa depan.
“Dengan sistem pangan yang berpihak pada petani dan rakyat, Indonesia tak hanya bertahan dalam badai global tapi bangkit menjadi kekuatan pangan dunia.”