RADAR JAKARTA|Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak dalam pola pikir sempit dalam menghadapi dinamika perdagangan global, khususnya pasca kebijakan tarif era Donald Trump. Menurutnya, negosiasi dagang bukan sekadar aktivitas administratif atau pendekatan pragmatis melainkan bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi jangka panjang.
“Kita tidak bisa datang ke meja perundingan hanya dengan daftar belanja, tapi tanpa struktur kekuatan ekonomi nasional yang kokoh,” ujar Haidar.
Strategi Bukan Sekadar Diplomasi
Haidar mengkritik pendekatan umum yang menganggap bahwa membentuk tim negosiator dan melakukan kontak bilateral dengan Amerika Serikat cukup untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, menurutnya, AS adalah negara dengan arsitektur ekonomi yang berlandaskan strategic autonomy dan mercantilist pragmatism.
“Amerika tidak berdagang demi berdagang. Mereka berdagang untuk mempertahankan hegemoninya,” tegas Haidar. Ia memperingatkan bahwa pendekatan seperti pengalihan impor dari negara lain ke AS hanya akan menciptakan bentuk baru dari ketergantungan komoditas (commoditized dependency) sebuah risiko tanpa mitigasi yang memadai.
Pentingnya Ketahanan dan Opsi Strategis
Dalam kerangka game theory, Haidar menjelaskan bahwa negosiasi hanya efektif jika masing-masing pihak memiliki exit strategy. Tanpa hal itu, salah satu pihak akan selalu berada dalam posisi tunduk. Oleh karena itu, ia mendorong pentingnya decoupling analysis menganalisis dan mengelola ketergantungan Indonesia terhadap pasar dan produk AS.
“Kita terlalu sibuk mengejar diskon tarif, tapi lupa menyiapkan economic redundancy. Dalam perang dagang, pemenangnya adalah negara yang mampu bertahan tanpa bergantung pada satu mitra dagang pun,” katanya.
Bangun Dulu, Baru Tawar
Menurut Haidar, kekuatan tawar (bargaining power) tidak bisa dibangun dalam semalam. Pemerintah harus menyiapkan peta jalan industri nasional yang berlandaskan kebutuhan strategis, bukan hanya permintaan pasar eksternal. Ia mendorong pembangunan geo-economic corridor, peningkatan efisiensi logistik, penataan hambatan non-tarif, dan penguatan kandungan lokal.
Jika Amerika menuntut akses pasar, Indonesia, tegasnya, harus menuntut balasan yang setimpal seperti transfer teknologi, lisensi produksi, hingga alih hak kekayaan intelektual.
“Amerika hanya menghormati satu hal: kekuatan. Dan kekuatan itu tercermin dari ketahanan ekonomi kita sendiri,” ujarnya.
Fondasi Industrial Sebelum Negosiasi
Negara yang masih mengalami defisit struktural dalam neraca berjalan (current account imbalance) tidak berada dalam posisi kuat untuk bernegosiasi. Oleh karena itu, Haidar menyarankan agar Indonesia terlebih dahulu memperkuat ekspor berbasis teknologi menengah dan tinggi, bukan hanya mengandalkan komoditas mentah.
“Kalau kita masih bertumpu pada ekspor bahan mentah dan mengimpor barang jadi dari AS, maka negosiasi apa pun hanya akan memperdalam dependency trap kita sendiri,” paparnya.
Negosiasi Adalah Strategi, Bukan Reaksi
Mengakhiri pernyataannya, Haidar menegaskan bahwa kebijakan perdagangan tidak boleh bersifat reaktif. Setiap langkah dalam perundingan internasional harus menjadi bagian dari national economic doctrine, bukan respons sesaat terhadap tekanan eksternal.
“Kalau kita tergesa-gesa bernegosiasi hanya karena ditekan tarif, itu artinya kita tidak punya arah. Lebih baik kita benahi rumah kita sendiri terlebih dahulu,” tandasnya.
Bagi Haidar, negosiasi terbaik adalah saat kita tak perlu melakukannya karena kekuatan internal sudah cukup membuat pihak lain datang dengan sendirinya.***