Connie Rahkundini Bakrie Kritisi Revisi UU TNI: Kewenangan MRO ke Kemhan Dipertanyakan

banner 468x60

RADAR JAKARTA|Jakarta – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memberikan kewenangan penuh kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam pengelolaan pemeliharaan, perawatan, dan overhaul (MRO) alutsista memicu keprihatinan luas. Salah satu kritik tajam datang dari pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, yang menilai kebijakan ini dapat mengancam efektivitas dan profesionalisme TNI dalam mempertahankan kedaulatan negara.

Dalam sebuah surat terbuka kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Connie menyoroti risiko besar dari pengalihan kendali MRO dari masing-masing matra ke Kemhan. Ia menilai bahwa langkah ini dapat menurunkan kesiapan tempur, memperumit birokrasi, serta membuka celah korupsi. Menurutnya, TNI seharusnya tidak diam dan pasrah terhadap kebijakan yang berpotensi melemahkan independensi mereka dalam mengelola alutsista.

Risiko dan Dampak Negatif Sentralisasi MRO

Connie memperingatkan bahwa jika MRO diambil alih oleh Kemhan, maka TNI akan kehilangan kendali atas kesiapan alutsistanya sendiri. “TNI harus tunduk pada mekanisme birokrasi kementerian yang berpotensi memperlambat kesiapan operasional serta membuka pintu bagi kepentingan politik dan bisnis dalam pengelolaan pertahanan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahaya sentralisasi kewenangan ini, yang dapat membuka peluang monopoli dan korupsi dalam pengadaan suku cadang serta pemeliharaan alutsista. Menurutnya, masalah laten ini sudah lama menjadi perhatian dalam sektor pertahanan, dan revisi UU TNI justru berpotensi memperburuk situasi tersebut.

Desakan untuk Meninjau Ulang Keputusan

Melihat dampak serius dari kebijakan ini, Connie mendesak Panglima TNI untuk segera mengadakan rapat luar biasa dengan seluruh matra serta para ahli pertahanan guna meninjau ulang keputusan tersebut. Ia mengajukan tiga tuntutan utama:

1. MRO harus tetap dikelola oleh masing-masing matra guna menjaga efektivitas dan kesiapan tempur.

2. Kemhan seharusnya berperan dalam pengawasan dan kebijakan, bukan dalam operasional.

3. Harus ada mekanisme transparan dalam pengelolaan MRO guna mencegah korupsi dan kepentingan bisnis tersembunyi.

Lebih lanjut, Connie menegaskan bahwa revisi UU TNI harus tetap berlandaskan prinsip supremasi sipil, profesionalisme militer, dan kemandirian industri pertahanan nasional. Jika perubahan ini tidak segera direvisi, ia memperingatkan bahwa hal ini bisa menjadi langkah mundur yang melemahkan TNI dan membuka peluang bagi kembalinya militerisme dalam pemerintahan.

Akankah Panglima TNI Bertindak?

Polemik revisi UU TNI ini menjadi ujian bagi kepemimpinan Jenderal Agus Subiyanto. Apakah Panglima TNI akan mengambil langkah konkret untuk mempertahankan independensi matra dalam pengelolaan MRO? Ataukah ia akan membiarkan matra-matra kehilangan kendali atas kesiapan tempurnya sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan masa depan efektivitas dan profesionalisme TNI dalam menjaga pertahanan negara. (*)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60