Mahkamah Konstitusi Terima Gugatan Terhadap Revisi UU TNI yang Baru Disahkan

banner 468x60

RADAR JAKARTA|Jakarta – Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan oleh DPR RI pada 20 Maret 2025, kini digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan oleh tujuh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) melalui permohonan uji materiil yang terdaftar dengan nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

Pengesahan UU TNI yang mengubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebelumnya memicu protes dari berbagai kalangan masyarakat. Aksi demonstrasi besar-besaran berlangsung di sejumlah daerah sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan tersebut, yang dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Para pemohon menggugat revisi UU TNI atas dasar ketidakpuasan terhadap proses pembahasan yang dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Dalam permohonan mereka, yang diterima oleh MK pada Jumat, 21 Maret 2025, para pemohon menyatakan bahwa revisi UU TNI tidak memenuhi prosedur yang sah dalam proses legislasi. Mereka mengkritik minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU TNI, serta kesulitan akses terhadap draf yang diajukan. Para pemohon juga mengungkapkan keprihatinan atas pengesahan RUU TNI yang dilakukan meski tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang seharusnya menjadi acuan bagi pembahasan setiap undang-undang.

“Penyusunan RUU TNI di luar Prolegnas tanpa memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 23 UU P3 menciptakan ketidakpastian hukum, yang berpotensi melemahkan sistem legislasi serta mengurangi legitimasi produk hukum yang dihasilkan,” demikian bunyi permohonan tersebut.

Pergeseran batas usia pensiun prajurit, perubahan tugas pokok TNI, serta pembatasan jabatan sipil untuk anggota TNI juga menjadi sorotan dalam gugatan ini. Revisi UU TNI mencakup empat pasal utama, yaitu Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 15 tentang tugas pokok TNI, Pasal 47 mengenai penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, dan Pasal 53 yang mengatur usia pensiun prajurit.

Sementara itu, para pemohon juga mempertanyakan penyusunan naskah akademik yang digunakan dalam pembahasan RUU TNI yang didasarkan pada periode 2020-2024, meski RUU tersebut tidak berstatus carry over ke periode DPR saat ini. Hal ini dianggap melanggar prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum.

Pengesahan RUU TNI pada rapat paripurna DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Kamis, 20 Maret 2025, sempat memicu kericuhan di kalangan masyarakat. Beberapa pasal dalam revisi ini mengubah substansi penting mengenai peran dan fungsi TNI dalam konteks militer dan sipil. Salah satu perubahan signifikan terdapat pada Pasal 7 yang memperkenalkan dua tugas utama TNI, yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Pasal ini merinci hingga 14 tugas yang diemban TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang, termasuk peran dalam penanggulangan ancaman pertahanan siber dan perlindungan kepentingan nasional di luar negeri.

Tantangan Terhadap Proses Legislatif

Protes terhadap pengesahan UU TNI yang dianggap terburu-buru semakin kuat setelah pembahasan RUU dilakukan secara tertutup, seperti yang terjadi pada 16 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta. Masyarakat merasa bahwa proses tersebut tidak memberi ruang bagi partisipasi publik yang seharusnya menjadi bagian integral dari pembuatan undang-undang yang berdampak luas.

Tujuh mahasiswa UI yang menjadi pemohon dalam gugatan ini, yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi, berharap Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan agar ketentuan dalam UU TNI yang telah diubah, dihapus, atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, dikembalikan kepada versi sebelumnya yang lebih memenuhi prinsip keterbukaan dan keadilan.

Dengan gugatan ini, masyarakat berharap agar proses legislasi di Indonesia berjalan lebih transparan, melibatkan partisipasi publik secara luas, dan menghindari potensi ketidakpastian hukum di masa depan. (*)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60