Saat kecil, saya berpendapat bahwa cemplon adalah kue paling enak di dunia. Pandangan ini mungkin karena dunia saya terbatas di pedukuhan Ngagel, Gunungkidul. Jajanan saya hanya dari warung Mbah Bayan di pojokan SDN Kalangan.
Namun, setelah dewasa dan berkesempatan menjelajah ke berbagai kota besar di Indonesia, pendapat saya berubah. Croissant ternyata lebih enak. Apalagi setelah sering menghabiskan waktu di kafe-kafe di usia 30-an, ketika semangat mencari uang sedang tinggi-tingginya.
Meski begitu, saya tidak berani menyimpulkan bahwa croissant adalah cemilan paling enak di dunia. Seiring perjalanan hidup dan banyaknya makanan yang saya cicipi, saya sadar bahwa masih banyak rasa yang lebih “nampol” dari croissant. Warung Mbah Bayan dan SDN Kalangan pun kini tinggal kenangan.
Pengalaman hidup mengajarkan saya untuk tidak cepat menyimpulkan sesuatu sebagai yang paling hebat, paling benar, atau paling baik. Seperti dalam buku *Filsafat Ilmu* karya Yuyun Soerja Soemantri, semakin kita tahu dalam satu hal, semakin kita menyadari banyaknya hal yang tidak kita ketahui.
Saudara-saudara terkasih, kita tidak perlu cepat berkesimpulan bahwa sesuatu adalah yang paling enak atau paling benar. Pujian di kolom komentar sering kali lebih untuk menyenangkan hati pemilik postingan, dan itu pun bagian dari ibadah.
Setiap orang memiliki batasan ruang dan waktu. Tidak perlu berebut siapa yang paling benar. Di satu tempat ada yang menganggap agama Kristen paling benar, di tempat lain Islam, Hindu, dan seterusnya. Semua keyakinan itu sah di lingkungan masing-masing.
Kita tidak boleh memaksakan kehendak seperti di Abad Pertengahan, yang memicu banyak pertempuran. Misalnya, memaksakan bahwa cemplon paling enak, sementara yang lain tidak setuju, bisa berujung pada konflik berkepanjangan.
Perang dan kerusuhan sosial selalu membuat golongan bawah menderita, sementara para oligarki berpesta pora. Para pemimpin yang memprovokasi massa untuk memperjuangkan keyakinan, seperti bahwa cemplon lebih enak dari croissant, sering kali berdalih harus bertahan hidup demi kepemimpinan mereka.
Remaja yang terprovokasi oleh pidato-pidato tersebut menjadi barisan depan yang harus berkorban lebih dulu. Kisah Hitler dan Mussolini menjadi contoh nyata. Silakan googling, jemaah *Kamensenseiya* yang dimuliakan semesta.
Kesimpulan saya waktu kecil bahwa cemplon adalah makanan paling enak di dunia bukanlah kesimpulan nasionalistik, melainkan hasil dari kurang piknik.[*]
Khotbah Marlin Dinamikanto: Lebih Enak Cemplon atau Croissant?
