Radarjakarta.id, SURABAYA-Pusat Kajian Transformasi Masyarakat dan Budaya Digital Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur menggelar Diskusi Publik bertajuk Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data, Senin (25/11/2024). Acara yang digelar di Gedung Kuliah Bersama (GKB) menghadirkan sejumlah pakar komunikasi politik untuk membahas fenomena Kotak Kosong. Hasilnya, mereka sepakat untuk mengusulkan Threshold atau ambang batas ditiadakan atau dihapus.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi publik itu adalah Guru Besar Komunikasi Politik Unair Prof. Henry Subiakto, SH., MS, Guru Besar Ilmu Politik Unair sekaligus Warek 1 Unusa Prof. Kacung Marijan, MA., PhD, Guru Besar Komunikasi Politik sekaligus Dekan FISIP Universitas Brawijaya Prof. Anang Sujoko, D.Comm, dan Dekan FISIP UPN Veteran Jatim Dr. Catur Suratnoaji, M.Si. Hadir pula perwakilan dari KPU Jawa Timur, Bawaslu Jawa Timur, Bakesbangpol Jawa Timur dan Diskominfo Jawa Timur.
Forum akademisi itu dibuka langsung oleh Rektor UPN Veteran Jawa Timur Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MMT.,IPU. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa diskusi publik ini menjadi acara rutin tahunan yang digelar oleh FISIP UPN Veteran Jawa Timur. Apalagi, hari ini bertepatan dengan Hari Guru, sehingga diisi dengan diskusi publik itu.
“Nah, kali ini kawan-kawan mengambil tema fenomena kotak kosong dan Demokrasi dalam Big Data, karena memang FISIP UPN salah satu keunggulannya adalah Big Data yang bisa melihat arah suara pemilih melalui media sosial,” kata Rektor.
Menurutnya, saat ini fenomena kotak kosong terus meningkat, sehingga tema ini menjadi urgent untuk dibahas demi melihat fenomena apa yang terjadi di balik peningkatan kotak kosong itu. Ia berharap peningkatan kotak kosong ini tidak sampai mencederai semangat demokrasi.
“Jadi, ada kegelisahan dari akademisi dengan semakin meningkatnya kotak kosong itu, dikhawatirkan adanya degradasi dari demokrasi itu, sehingga kepesertaan masyarakat dalam pemilihan umum itu bisa semakin berkurang. Selain itu, jangan sampai pula ada kekuatan-kekuatan tertentu yang bisa mengatur demokrasi di Indonesia ini, nanti kita rugi,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Unair sekaligus Warek 1 Unusa Prof. Kacung Marijan menjelaskan secara kelembagaan memang ada dorongan kea rah kotak kosong, yaitu dengan adanya Threshold itu. Selain itu, karakterisasi dari proses politik termasuk pencalonan siapa yang menjadi kepala daerah menjadi kekuatan terpusat, sehingga kompetisi itu menjadi berkurang dengan adanya calon tunggal itu.
“Ini juga didorong oleh personalisasi dari pilkada itu, termasuk pencalonan adanya sosok yang kuat sehingga orang itu berpandangan siapapun yang akan melawan tidak akan menang. Implikasinya partai-partai itu akan cenderung mengelompok kepada tokoh yang kuat, termasuk di pilkada Surabaya,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan Threshold harus segera ditiadakan, sehingga sejak awal orang-orang sudah mulai berkompetisi dan orang-orang yang akan dicalonkan sudah mempersiapkan diri sejak 5 tahun sebelumnya. Dengan demikian, partai apapun yang memiliki kursi di dewan, sudah bisa mempersiapkan diri.
“Kalau incumbent itu kan sudah mempersiapkan diri sejak 5 tahun lalu dan akan susah melawannya. Jadi, biar fair dan kompetisi itu tetap terbuka, maka Threshold itu harus ditiadakan sehingga partai bisa mencalonkan diri,” tegasnya.
Guru Besar Komunikasi Politik Unair Prof. Henry Subiakto juga sepakat untuk meninjau dan menguji ulang Threshold itu. Pasalnya, ia menilai fenomena kotak kosong ini merupakan sebuah kekurangan dalam demokrasi Indonesia. Selain itu, ia menilai perlu dikritisi kekuatan yang mengarahkan kepada kristalisasi kepada satu pasangan calon.
“Ini masayarakat perlu kritis dengan fenomena itu, dan Threshold itu menjadi solusi untuk membenahi system demokrasi kit aini,” tegasnya.
Dekan FISIP UPN Veteran Jawa Timur Dr. Catur Suratnoaji juga mengaminisi kalau Threshold itu ditiadakan ke depannya. Sebab, dia juga tidak ingin ada lagi kotak kosong di pilkada selanjutnya. “Kotak kosong ini seperti hantu yang wujudnya tidak nampak jelas karena merupakan kelompok minoritas,” katanya.
Bagi dia, kalau pun nanti tetap ada kotak kosong, maka yang diperlukan adalah perlakuan yang sama dengan pasangan calon, termasuk dari fasilitasnya, sehingga dengan cara itu kompetisi dalam pilkada itu tetap fair. “Ketika ada yang menyuarakan tentang kotak kosong, maka seharusnya juga dihargai dan difasilitasi karena kelompok kotak kosong ini saat ini termarjinalkan. Melalui car aini, maka kompetisi tetap bisa fair dan tetap adil,” pungkasnya. (*)