Radarjakarta.id | BULELENG – Protes pembangunan diatas lahan milik Desa Pakraman Pelapuan yang diduga tanpa melalui proses Paruman Adat kembali terjadi di Desa Pelapuan, Kecamatan Busungbiu – Buleleng.
Aksi protes yang dilakukan oleh sekelompok warga yang mengatas namakan dirinya Kelompok Warga Peduli Adat Pelapuan itu, salah satunya dengan cara memasang sepanduk dilahan milik Desa Adat Pelapuan, tepatnya di SDN 1 Pelapuan. Rabu, (24/10/2024) sekira pukul 17.00 wita.
Apalagi diatasnya lahan milik Desa Pakraman Pelapuan itu rencana akan dibangun tempat pemilahan sampah, TPS3R yang lokasinya dekat dengan Sekolah dan Pura Merajapati.
Dari keterangan warga yang memasang spanduk tersebut mengatakan aksinya itu dilakukan karena aspirasinya tidak digubris oleh pemangku kepentingan di Desa Pelapuan.
Ia mengatakan bahwa tidak pernah adanya Paruman Desa Adat yang membuat Masyarakat Adat tidak bisa menyampaikan aspirasinya.
“Pembangunan diatas lahan adat ini pun tidak diputuskan melalui paruman Desa Adat, dan bisa dikatakan tidak mendapat persetujuan dari Masyarakat Adat Pelapuan, sebelumnya juga saat merobohkan Balai Masyarakat dan akan membangun Kantor Desa juga tanpa melalui keputusan Paruman Adat,” ujar Made Suda Arsana yang dibenarkan oleh rekan-rekannya.
“Kami juga sebagai Masyarakat Adat Desa Pelapuan ingin dilibatkan atau diajaklah bertukar pikiran, karena kami juga ingin tahu status tanah itu bagaimana kedepannya, apakah tanah itu nanti akan dihibahkan ataukah Hak Guna Pakai ataukah Hak Guna Bangunan kan biar jelas peruntukannya”, tambahnya.
Suda Arsana pun meminta para prajuru adat supaya segera melakukan Paruman Desa Adat agar bisa secepatnya mengambil keputusan.
“Tolong rapatkan atau parumkan Desa Adat Pelapuan. Disanalah kita mengambil keputusan, jangan hanya menggunakan kepentingan sendiri. Seolah-olah Desa ini adalah milik salah satu kelompok atau keluarga tertentu. Karena Desa ini adalah milik semua Warga Adat Desa Pelapuan”, tegasnya.
Adanya penolakan pembangunan diatas lahan milik Desa Pakraman tanpa melalui putusan Paruman itu menuai polemik di kalangan masyarakat, tidak hanya sekelompok Krama, namun wali murid hingga beberapa Pemangku pun ikut angkat bicara mengenai pembangunan yang lokasinya disebelah menyebelah diantara SDN 1 Pelapuan dengan Pura Meraja Pati.
Selaku masyarakat Adat dan Juga wali murid, Kadek Tena menyayangkan adanya pembangunan TPS3R disebelah sekolah yang sangat mepet sekali dengan ruang kelas apalagi dalam prosesnya tanpa melalui keputusan Paruman Adat.
“Sebenarnya sih perlu musyawarah untuk semuanya harus melalui musyawarah, gimanapun masyarakat harus tahu itu sebenarnya. kalau seperti dulu apa-apa pasti ada Paruman”, ujar Kadek Tena saat menunggu anaknya pulang sekolah.
Untuk pembangunan TPS3R yang sangat dekat dengan sekolah, ia-pun berkeberatan karena tempatnya dekat.
“Niki jelas mengganggu, baunya pasti, yang namanya sampah. Ini anak saya Sekolahnya kan dekat sekali sama tempat sampahnya. Sebenarnya saya keberatan”, ucap Kadek Tena menambahkan.
Senada dengan Kadek Tena, Nyoman Lita, seorang wali murid yang juga Krama Adat Pelapuan mengatakan kalau membangun diatas tanah adat kalau belum dapat persetujuan dari warga adat tidak bisa dilanjutkan.
“Walaupun tanah adat, kalau memang ada yang namanya dibangunin, kalau belum ada Acc dari masyarakat (tidak dikerjakan). kalau dulu, kalau sekarang saya kurang tahu Undang-Undang di Desa”, ungkap Nyoman Lita.
Selain wali murid, beberapa pemangku pun turut mengkritik pembangunan diatas lahan milik desa adat yang diduga tanpa melalui keputusan Paruman Adat.
Mereka diantaranya, Dewa Wisnu, Pemangku Pura Penjagaan. Jro Gede Tirte, Pemangku Pura Beji. Dewa Ketut Janten, Pemangku Pura Pucak, dan Jro Nyoman Lingson, Kelian Banjar Adat Dauh Rurung mengaku tidak tahu dan tidak dilibatkan dalam pembangunan TPS3R yang dibangun diatas lahan milik Desa Adat. Dan mereka pun sangat kecewa karena selain pemutusannya tidak melalui Paruman Adat, dalam pembangunan TPS3R tidak memperdulikan lingkungan disekitarnya.
“Nike memang tanah adat. Adi sing metari, sing ngumpulang Krama, tidak melalui musyawarah”, ucap Dewa Wisnu.
Ia selaku warga berterima kasih atas dibangun TPS3R, karena bisa menyerap tenaga kerja, namun yang ia sayangkan pembangunannya di atas (di Ulu/di Luan) Pura dan tepat disebelah Sekolah.
“Yen jani nu ngidang, yen be mekelo-mekelo sekian tahun, namanya sampah, baunya bagaimana?. Yen rage Sembahyang itu, mebo sampah, kenken Rage. sampah bakat sungsung dadine, kan sing cocok”, Punkas Dewa Wisnu, Pemangku Pura Penjagaan.
Sementara, Nyoman Lingson, sebagai Kelian Adat Banjar Dauh Rurung juga mengaku tidak tahu terkait program pembangunan apapun di Desanya.
“Saya selaku sebagai pengurus Banjar Adat, apapun program bangunan di Desa, saya tidak begitu tahu”, ujarnya singkat.
Dan terkait pembangunan TPS3R yang dekat dengan Pura Merajapati, dirinya mengaku tidak punya hak untuk meng-iya atau mentidakkan. namun ia berpendapat Pura Merajapati itu adalah Prahyangan tempat suci.
“Masa ada kandang di Luan, itu contoh itu. Dikaitkan dengan tempat sampah kan artinya sudah beda. Sudah beda itu tempatnya. Apalagi yang namanya mana Ulu, Ulu itu kan Kaje Kangin. Jani yen tempat sampahe Kaje Kangin, Pelinggihe ije kejang?”, tandas Jro Lingson.
Menurutnya TPS3R harus jauh dari Prahyangan supaya tidak menyalahi Tri Hita Karana Adat Hindu.
Beda pendapat dengan para pemangku lainnya dan wali murid, Jro Gede Pancer, Pemangku Pura Merajapati menyampaikan terkait pembangunan diatas lahan milik Desa Adat dan Pembangunan TPS3R ia serahkan semuanya kepada Bendesa Adat.
“Apapun keputusan Bendesa, Tiang menerima, itu pertama. Kemudian untuk jurusan pengemong Pura karena dekat dengan Pura Merajapati, sesuai dengan tugas pokok Tiang sebagai Pemangku, pelayan masyarakat, apapun itu, Tiang tidak berani melarang atau tidak berani memutuskan melarang atau tidak, menyetujui saya tidak berani”, katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan dirinya selaku pemangku yang dijumput oleh Tuhan, bukan manusianya yang menjumput, akan melaksanakan apapun yang diminta oleh masyarakat.
“Tuhan menjumput untuk mewakili Tuhan melayani Umatnya, semua Panca Yadnya, apapun yang diminta oleh masyarakat, mepiuning, Tiang Laksanakan”, ucap Jro Gede Pancer.
Dilain pihak, Ketut Anton Paduri, sebagai Ketua Komite SDN 1 Pelapuan mengaku dalam pembangunan TPS3R di atas lahan milik Desa Adat sudah melalui rapat Desa, musyawarah Desa yang diwakili oleh elemen – elemen masyarakat, diantaranya ada perwakilan dadia dan perwakilan kelompok.
“Pas pada waktu itu, saya tidak hadir. Katanya tidak ada dipermasalahkan dalam rapat, kalau pas waktu itu dipermasalahkan, bisa gak jadi ini”, tuturnya.
Menurut Anton, dibangunya TPS3R disebelah SDN 1 Pelapuan karena Desa Adat hanya punya lahan ini saja.
“Untuk menanggulangi sampah, sampah yang membludak yang di TPA sudah volume nya sudah tinggi, untuk mengurangi itu Tiang setuju adanya pengolahan itu. Tapi disisi lain itu dah, bau yang namanya sampah. Karena Desa adatnya cuma punya ini saja lahannya”, beber Anton Paduri.***